Minggu, 26 September 2010

BIOGRAFI KH. ISHAQ ZAINI

Biografi sebagai data perjalanan hidup seseorang

MOTTO
قََال رسول الله صلَي الله علَيه وسلَم أكيس الناس أكثرهم ذكرا للموت وأشدهم إستعدادا له أولئك هم الأكيس ذهبوا بشرف الدنيا والأخرة (رواه ابن ماجه)

“Sepandai-pandai manusia adalah yang lebih banyak mengingat mati dan sangat cukup persiapannya menghadapi kematian itu. Itulah yang sebenarnya disebut orang pandai, mereka pergi ke alam baqa’ dengan membawa kemuliaan dunia dan kemuliaan akhirat.” (HR. Ibnu Majah).

SAMBUTAN PENGASUH
PONDOK PESANTREN NURUL HUDA

Alhamdulillah, hanya ungkapan syukur kepada Allah SWT yang dapat kami panjatkan dengan terbitnya buku Biografi KH. Ishaq Zaini ini yang bisa menjadi bahan telaah bagi para santri Nurul Huda khususnya dan alumni serta masyarakat luas pada umumnya untuk meneladani bentuk perjuangan beliau dan keistiqama-hannya dalam beribadah serta perilaku dan kepribadian beliau dalam kehidupan sehari-hari. Shalawat ma’as Salam mudah-mudahan selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi manusia terdepan membangun peradaban umat manusia menuju umat bermartabat dihadapan Allah SWT.
Saya juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah bersedia membantu terbitnya buku ini dengan turut memberikan data-data penting yang diperlukan tentang kehidupan KH. Ishaq Zaini. Tanpa rasa riya’ dan sum’ah atas keberhasilan KH. Ishaq Zaini sebagai keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Huda, tiada lain harapan kami kepada semua unsur masyarakat agar hendaknya buku biografi ini tidak hanya sekedar dibaca tanpa hasil. Akan tetapi tujuan terpenting adalah bagaimana buku ini banyak bermanfaat bagi kita semua untuk berusaha dapat meniru sifat-sifat terpuji beliau dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Bukan pujian, sanjungan atau apapun bentuknya dari para pembaca yang kami harapkan. Namun kemaslahatan, ketentraman, kedamaian dan kebahagiaan umat yang kami dambakan dengan membuka rujukan lama yang bisa menjadi perekat umat melalui kandungan buku ini.
Semoga buku ini tidak hanya sebagai penghias almari buku para santri dan pajangan rumah bagi masyarakat, tetapi semua kita bisa melaksanakan isi dan kandungan yang tersirat didalamnya untuk kebahagian kita semua di dunia maupun akhirat.
Amin, ya Rabbal Alamin.

Nyamplong, 1 Pebruari 2010
Pengasuh PP Nurul Huda
KH. Abdullah Ishaq

KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah menuangkan rahmat-Nya kepada seluruh alam dan memberikan inspirasi dibenak penulis untuk sekedar membukukan sekelumit biografi KH. Ishaq Zaini. Semoga Shalawat dan Salam tetap tercurahkan keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW yang diutus Allah SWT sebagai pahlawan sejati yang sempurna untuk membenahi carut-marutnya akhlak umat. Penulis bersyukur kepada Allah SWT karena impian yang terbersit pada tahun 2005 dapat terselesaikan walaupun sempat vakum sekitar empat tahun lamanya karena dalam penulisan biogarafi ini banyak hal yang menjadi perhatian dan adanya berbagai kendala sehingga memerlukan waktu yang cukup panjang.
Dengan semangat tinggi dan kemauan kuat serta do’a yang selalu penulis panjatkan kepada Yang Maha Kuasa, akhirnya Dia membukakan jalan penulis untuk menyelesaikan buku mungil ini dengan bahasa versi penulis (untuk penyesuaian karena data diambil dalam bentuk bahasa Madura). Atas rampungnya buku ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua yang telah segenap jiwa dan raga mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya serta mendidik penulis menjadi orang yang bisa mengenyam pendidikan
2. Kakak dan keluarga yang turut memberikan dorongan moril dan bantuan materiil untuk pengembangan pendidikan penulis
3. Semua guru yang telah membimbing penulis menjadi orang melek pendidikan
4. Seluruh Cifitas Academika yang turut mendorong terselesainya karya ilmiyah penulis
5. Seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Nurul Huda yang telah memberikan peluang rampungnya buku biografi ini
6. Seluruh informan yang telah bersedia dengan senang hati memberikan data-data yang penulis perlukan
7. Aba dan Ummi (mertua penulis) yang merespon baik terciptanya Biografi KH. Ishaq Zaini
8. Istri tercinta yang sangat bersemangat mendorong dan membantu terwujudnya sebuah buku berupa Biografi KH. Ishaq Zaini yang dapat memjadi rujukan positif para santri Nurul Huda dan Ainul Huda khususnya dan Alumni serta masyarakat pada umumnya
Semoga buku ini menjadi titik awal bagi penulis untuk menerbitkan karya-karya lain di masa mendatang. Akhirnya kritik membangun disertai solusinya dari para pembaca penulis harapkan demi berkualitasnya karya-karya berikutnya. Semoga buku ini memberikan manfaat bagi semua unsur dan elemen masyarakat. Amin.

Kalirejo, 1 Pebruari 2010
Penulis

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Biografi merupakan salah satu wadah mengabadikan perjalanan hidup seseorang yang bisa diambil hikmah dan manfaatnya oleh para pembaca. Latar belakang merupakan factor penentu terciptanya sebuah karya dalam berbagai bentuk dan isi. Buku ini juga tak lepas dari factor penentu tersebut sehingga tercipta sebuah karya yang mungkin masih banyak kekurangan didalamnya, baik bentuk maupun isinya karena factor keilmuan penulis yang masih awam tentang metode penulisan karya ilmiah.
Latar belakang lahirnya buku ini berangkat dari sebuah keprihatinan penulis melihat kenyataan didepan mata dimana saat ini nilai-nilai luhur keagamaan, akhlaq, etika maupun hubungan social masyarakat yang semakin ironi dan memprihatinkan. Kehidupan kaum santri yang semakin tidak jelas jati dirinya, dunia pelajar yang mulai tercoreng nama baiknya dengan narkoba dan tawuran karena hal-hal yang sepele, mahasiswa yang semakin meninggalkan rasionya dalam bertindak dan gampang terprovokasi sehingga seringkali terjadi bentrok dengan berbagai pihak, para pendidik (baca: guru) termasuk kepala sekolah yang ternodai dengan perbuatan syur para oknumya, para pejabat yang mulai kehilangan kesadaran terbius kursi goyangnya, para pemimpin yang mulai luntur pengayoman terhadap rakyatnya karena terhipnotis oleh kekuasaannya, termasuk para wakil rakyat yang sudah mulai lupa terhadap rakyat yang diwakilinya karena sibuk dengan tafsir-tafsirnya sendiri, orang-orang kaya yang semakin doyan menghisap keringat orang-orang miskin, serta banyak ketimpangan lain dipelupuk mata kita yang dikerjakan dengan terang-terangan secara individual maupun bersifat kolektif, dilakukan dengan spontanitas ataupun terprogram dan terorganisir dengan baik.
Santri yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, pelajar yang bersih dari narkoba dan seks bebas, mahasiswa yang mengedepankan dialog dengan kepala dingin dalam mengusulkan dan memecahkan suatu masalah, guru yang betul-betul bisa digugu dan ditiru, para pejabat yang peduli kepada nasib masyarakatnya, wakil rakyat dan pemimpin yang berpihak pada rakyat, orang kaya bergelimang harta yang turut merasakan getirnya hidup orang miskin sehingga terketuk untuk membantunya saat ini sudah seperti mutiara di padang pasir (baca: menjadi barang langka yang sangat berharga diantara barang-barang yang berserakan tak bernilai).
Pondok pesantren yang sampai saat ini merupakan sebuah area yang masih relatif aman dan basis pembentukan akhlak yang baik merupakan satu mutiara yang diharapkan tetap bisa melahirkan pioner bangsa yang bisa dipertaruhkan demi kepentingan agama, bangsa dan negaranya dengan baju apapun yang mereka pakai. Dalam perjalanannya pondok pesantren juga mulai menggeliat menyesuaikan diri dengan kondisi zaman agar tidak tergerus oleh era yang dilaluinya. Dari sinilah nilai-nilai luhur dan terpuji kepesantrenan juga dipertaruhkan. Sejak semula pondok pesantren yang didirikan dan diasuh serta terus dipantau oleh pengasuh secara langsung menjadi benteng terkuat mempertahankan norma-norma dan nilai-nilai luhur keagamaan serta menjadi kawasan aman yang tak terjamah narkoba.
Untuk mengenang jasa seorang figur pengasuh pondok pesantren dalam kiprahnya membangun manusia seutuhnya, maka perlu dideskripsikan dalam bentuk buku agar perjuangannya dapat diteladani oleh para santri khususnya dan masyarakat luas pada umumnya, guna membangun manusia sejati yang mengutamakan kepentingan umum dan kemaslaha-tan bersama tanpa melihat profesi dan ras yang sedang disandangnya. Jasa figur seperti inilah yang perlu dilestarikan karena berjuang tanpa pamrih dengan tujuan semata-mata Ridla Allah SWT di akhirat nanti.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan minimal penulisan buku Biografi ini antara lain:
1. Jejak perjuangan seorang figur pondok pesantren tidak hilang tergerus zaman;
2. Sebagai bahan telaah bagi penulis dan keluarga untuk muhasabah (introspeksi) berkaitan dengan perjuangan dan keistiqamahan dalam beribadah serta kearifan dalam bertindak;
3. Agar para santri yang masih aktif, alumni maupun masyarakat luas dapat memahami, mengambil hikmah dan meneladani perjuangan seorang tokoh yang telah berjuang mempertaruhkan segalanya demi kemaslahatan umat;
4. Sebagai pedoman para ahli waris dan penerus perjuangannya dalam mengembangkan langkah perjuangan sesuai perkembangan zaman tanpa mengabaikan hal-hal prinsip yang telah dibangun dan dilaksanakan oleh para pendahulunya;
5. Sebagai salah satu rujukan keturunan beliau untuk meneladani perjalanan hidup dan perjuangannya;
6. Dengan gambaran buku ini para ahli waris dapat menyempurnakan cita-cita beliau yang belum terlaksana semasa masih hidup.

C. Teknik Pengumpulan Data
Data yang disajikan dalam Biografi ini terkumpul dengan cara mewawancarai para informan. Para informan yang dapat digali informasinya tentang KH. Ishaq Zaini terbagi menjadi beberapa bagian, antara lain adalah:
1. Keluarga
Yang dimaksud keluarga adalah orang-orang yang masih memiliki hubungan darah dengan KH. Ishaq yang berada di berbagai daerah;
2. Khaddam
Yang dimaksud khadam adalah santri yang mengabdikan dirinya selama di Pondok Pesantren untuk melayani kebutuhan sehari-hari KH. Ishaq;

3. Alumni
Alumni adalah orang yang sudah berhenti menjadi santri di Pondok Pesantren Nurul Huda yang sudah tersebar di berbagai tempat;
4. Masyarakat Umum
Yang dimaksud masyarakat umum adalah orang yang banyak mengetahui tentang pribadi KH. Ishaq, baik teman maupun kenalan;
5. Simpatisan
Simpatisan adalah orang-orang yang tidak mengenal KH. Ishaq secara dekat tetapi memiliki sedikit pengetahuan tentang beliau karena pernah bertemu dan bersedia menyampaikan informasi yang pernah dilihat atau dirasakannya.


BAGIAN 1
KETURUNAN BANGSAWAN DAN PENYEBAR ISLAM
DI PULAU JAWA

A. Keturunan Raden Ahmad
Jrangoan adalah sebuah daerah pelosok yang terletak di kabupaten Sampang Madura berupa daerah yang tidak begitu subur untuk areal pertanian maupun perkebunan karena tandus dan sulit air. Tetapi Jrangoan merupakan daerah yang subur untuk tumbuhnya bibit-bibit pemimpin umat yang patut diteladani oleh seluruh masyarakat. Di Jrangoan inilah lahir seorang tokoh dari keturunan Sunan Ampel bernama Raden Ahmad yang dikenal dengan sebutan Bujuk Ahmad. Beliau dikenal sebagai salah satu sosok yang alim dibidang ilmu agama dan tokoh yang digdaya menghadapi para penjahat dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya.
Dari cucu Raden Ahmad lahirlah delapan orang putra, dua diantaranya bernama Raden Ghulab dan Raden Sirojuddin. Raden Ghulab mempunyai banyak keturunan yang menjadi panutan ditengah-tengah masyarakat. Demikian juga keturunan Raden Sirojuddin menjadi tokoh-tokoh sentral dalam perjuangan Islam di masanya. Dari Bujuk Ahmad inilah lahir keturunan tokoh-tokoh terkenal dan berjiwa bersih dengan keistiqamahan yang luar biasa dan menyebar di seluruh nusantara. Salah satu dari keturunan Bujuk Ahmad yang cukup melegenda adalah Muhammad Tahri yang kemudian dikenal dengan nama Kiyai Tahri atau KH. Ishaq. Muhammad Tahri terlahir dari rahim Nyai Afiyah hasil perkawinan-nya dengan Kiyai Zaini. Beliau lahir pada hari Senin tanggal 5 September 1925 M bertepatan dengan tahun 1346 H di Jrangoan Sampang. Muhammad Tahri adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Empat bersaudara tersebut adalah:
1. Munhari
2. Hakimah
3. Khasiyah
4. Muhammad Tahri
Untuk kehamilan yang keempat ini tidaklah disangka-sangka sebab ketika Kiyai Zaini wafat tidak ada tanda-tanda kehamilan diperut Nyai Afiyah. Baru tiga bulan kemudian diketahui bahwa Nyai Afiyah sedang hamil muda. Dengan demikian Muhammad Tahri sejak lahir tidak pernah tahu seperti apa sosok ayah kandungnya. Sebuah proses kelahiran yang mirip dengan Nabi Muhammad SAW yang juga ditinggal wafat ayahandanya ketika masih belum terlihat tanda-tanda kehamilan di perut Sayyidah Aminah ibunda beliau.
Nyai Afiyah adalah seorang hafidhah, orang yang hafal Al-Qur’an dimana pada saat itu masih sulit menemukan penghafal Al-Qur’an apalagi seorang perempuan. Nyai Afiyah dalam menghafal Al-Qur’an menggunakan sebuah batu sebagai tempat duduk dan batu itupun berbekas seperti gambar pinggul. Hal Ini menunjukkan bahwa Nyai Afiyah istiqamah duduk di atas batu itu dalam waktu yang cukup lama. Batu tempat duduk menghafal Al-Qur’an itupun menjadi barang keramat sehingga tidak boleh ada orang yang melangkahinya karena orang tersebut bisa jatuh sakit.
Setelah Nyai Afiyah wafat agar tidak dikultuskan dan membahayakan orang lain, maka batu itupun diikutkan kedalam kuburan beliau dan yang bisa mengangkatnya hanya Nyi Lora . Nyai Afiyah mempunyai nasab yang sama dengan Kiyai Zaini, yakni sama-sama keturunan Bujuk Ahmad melalui Raden Sirojuddin, merupakan keturunan yang kelima. Sedangkan Kiyai Zaini keturunan Bujuk Ahmad yang ketujuh melalui jalur Raden Ghulab.

B. Bernasab ke Ulama Bukhara
Bukhara adalah daerah terkenal yang terletak di Samarkand. Di Bukhara ini pernah lahir seorang ahli Hadits yang dikenal dengan Imam Bukhari. Di Bukhara ini juga ada seorang ulama besar bernama Syekh Jamaluddin Jumadil Kubra, seorang Ahlussunnah bermadzhab Syafi’i. Beliau memiliki seorang putra bernama Ibrahim as Samarqandi, yang oleh orang Jawa dikenal dengan sebutan Syekh Ibrahim Asmoroqandi, makamnya terletak di pesisir utara Jawa tepatnya di desa Gresikharjo kecamatan Palang kabupaten Tuban dan banyak dikunjungi para peziarah.
Syekh Ibrahim diperintah ayahnya Syekh Jamaluddin Jumadil Kubra untuk berdakwah ke negara-negara Asia. Perintah dilaksanakan dan beliau diambil menantu oleh raja Cempa dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Candrawulan. Negeri Cempa menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinannya dewan Dewi Candrawulan Syekh Ibrahim mempunyai dua orang putra yaitu Sayyid Ali Murtadla dan Sayyid Ali Rahmatullah.
Setelah kerajaan Majapahit ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk serta mengalami kemunduran secara drastis serta upeti tidak sampai ke kerajaan karena banyak adipati yang tidak loyal lagi dengan terjadinya perang saudara, maka Prabu Brawijaya merasakan kegelisahan dan kegundahan hati. Istrinya Ratu Dwarawati yang merupakan adik kandung Dewi Candrawulan mengusulkan untuk meminta keponakannya di Cempa Sayyid Ali Rahmatullah untuk mengatasi kemelut dan kemerosotan moral rakyatnya.
Pada suatu hari atas permintaan Prabu Brawijaya melalui utusannya berangkatlah Sayyid Ali Rahmatullah ditemani ayahnya Syekh Ibrahim dan kakaknya Sayyid Ali Murtadla. Sayyid Ali Murtadla meneruskan perjalanannya dalam berdakwah ke Madura, daerah Nusa Tenggara sampai ke Bima dan pada akhirnya berdakwah di Gresik sampai wafat dan dimakamkan di Gresik.
Sedangkan Sayyid Ali Rahmatullah menuju ke Majapahit sesuai permintaan Ratu Dwarawati. Kenudian beliau juga diambil menantu oleh Raja Brawijaya dan menjadi anggota kerajaan serta diberi nama depan Rahadian atau Raden yang berarti Tuanku. Kemudian beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat. Selanjutnya beliau berdakwah di Ampeldenta Surabaya. Setelah menetap dan menjadi peguasa di Ampeldenta beliau diberi gelar Susuhunan, artinya Yang di Junjung Tinggi atau panutan masyarakat setempat dan berikutnya dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Sunan Ampel mempunyai beberapa orang putra yang salah satunya kemudian merupakan leluhur Muhammad Tahri yang bersambung ke Raden Ahmad Jrangoan.
Muhammad Tahri yang lahir di Jrangoan kabupaten Sampang tumbuh sebagaimana laiknya anak-anak di kampungnya. Masa kecilnya juga dihabiskan di kampungnya sendiri secara alamiyah. Dia hidup bersama ibunya karena ayahnya telah pulang ke Rahmatullah. Dia tumbuh sebagai anak yatim yang tak sempat merasakan belaian kasih sayang seorang bapak. Namun hidup sebagai seorang anak yatim tidak membuat Muhammad Tahri pesimis menghadapi kerasnya kehidupan dunia. Apabila ditilik kebelakang justru banyak pemimpin dunia yang berstatus anak yatim. Bahkan kondisi yatim itulah yang mendidiknya tegar dan mandiri sebagai modal menjadi tokoh yang dikagumi umat.
Dengan melihat para leluhurnya diatas, maka darah yang mengalir pada diri Muhammad Tahri dari pihak laki-laki adalah darah tokoh penyebar agama Islam di awal-awal Islam masuk di nusantara sekaligus termasuk Wali Songo yaitu Sunan Ampel. Sedangkan dari garis yang lain adalah darah bangsawan keturunan kerajaan Cempa dari negeri seberang yaitu Dewi Candrawulan. Jadi dua macam darah menyatu dalam diri Muhammad Tahri, yakni darah wali dan darah bangsawan. Dari campuran dua darah tersebut terkumpul darah pejuang Islam dan bangsawan. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari sejak kecil sudah mencerminkan talenta yang kuat sebagai calon penerus perjuangan leluhurnya.
Silsilah atau garis keturunan Muhammad Tahri sampai Raden Ahmad adalah sebagai berikut:

Raden Ahmad (Jrangoan Sampang)
Raden Muhammad
Raden Yasin
Raden Gulab // Raden Sirojuddin
Kiyai Marjani // Kiyai Sabaqah
Kiyai Mursikin
Kiyai Nur Alim Abdullah
Kiyai Zaini + Nyai Afiyah
Kiyai Muhammad Tahri (KH. Ishaq Zaini)


C. Berguru di Parajjen
Dimasa kecilnya Muhammad Tahri belajar ilmu pendidikan pertama kali di Jrangoan daerah asalnya sendiri. Setelah itu belajar dan mengaji di Parajjen dan sekaligus menjadi khadam kesayangan KH. Baidlawi ayahanda Ny. Zubaidah sebagaimana yang diceritakannya sendiri kepada KH. Zaini Ishaq dan KH. Badri Ishaq dan putra-putrinya yang lain. Di Parajjen ini pelajaran terfokus pada ilmu-ilmu agama seperti pondok pesantren lain pada umumnya kala itu. Beliau secara tekun menelaah setiap pelajaran yang diberikan gurunya terutama ilmu alat sebagai sarana mempelajari kitab-kitab lain.
Sebagaimana disinggung diawal tulisan bahwa Sampang menyimpan banyak tokoh agama dan pondok pesantren yang siap menggembleng para santri sebagai calon-calon pejuang sejati. Dengan bekal rajin dan tekun belajar serta didukung oleh gen yang baik, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah dapat menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan berupa ilmu alat, fiqh, tasawuf dan lainnya. Selama mondok di Parajjen ini sudah nampak sifat-sifat terpujinya seperti ketaatan kepada guru dan kedalaman ilmunya sehingga menarik hati Nyai Zubaidah dan Kiyai As’ad untuk membawanya ke tanah Jawa.

D. Menjadi Khadam KHR. As’ad Syamsul Arifin
Setelah beberapa tahun berada di Parajjen kemudian beliau dibawa oleh Ny. Hj. Zubaidah setelah dinikahi KHR. As’ad Syamsul Arifin untuk nyantri dan sekaligus menjadi khadamnya di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Asembagus (sekarang kecamatan Banyuputih) Situbondo. “Saya dibawa oleh Nyai Zubaidah untuk menjadi khadamnya. Waktu berangkat Nyai Zubaidah naik kuda dan saya yang menuntunnya sementara Kiyai As’ad juga jalan kaki,” tuturnya kepada putra keempat beliau suatu ketika. Karena ketaatan dan kepatuhan kepada guru beliau tidak sempat merawat ibunya sendiri sampai wafatnya. “Saya tidak sempat merawat ibu sampai beliau wafat karena saya ikut dan taat pada guru,” katanya. Oleh karena itu beliau menjadi santri dan khadam kesayangan karena kepatuhan kepada kiyai dan ibu nyai serta kealiman-nya di bidang agama. Ketika beliau menginjakkan kaki di tanah Jawa tepatnya di Sukorejo beliau mengaji berbagai kitab langsung kepada KH. Syamsul Arifin. Disamping itu juga beliau mendapat tugas mengajar di madrasah kelas dua. Belum genap satu tahun karena memiliki kemampuan keilmuan kemudian beliau ditugas mengajar di kelas empat.
Selama mondok dan menjadi khadam Kiyai As’ad, untuk mendapatkan tambahan biaya hidup beliau berdagang kapas bersama salah seorang santri asal Bindung Sumberanyar Asembagus (sekarang kecamatan Banyuputih) Situbondo karena tidak dikirim dari rumah sebab dalam situasi perang disamping beliau memiliki tanggungan beberapa keponakan dan anak buah yang juga kekurangan bekal akibat situasi peperangan tersebut. Dari hasil perdagangannya beliau berbagi dengan teman-teman yang lain. Ini mencerminkan sebuah sifat dermawan dan tidak hanya mementingkan diri sendiri serta menerapkan pepatah “Berat sama dipikul ringan sama dijinjing, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, ke bukit sama mendaki ke curah sama menurun, terendam sama basah terampai sama kering”. Artinya beliau menjunjung tinggi rasa persaudaraan dan merasa senasib sepenanggungan, sehingga apa yang dimakan sendiri itu juga yang mesti dimakan kawan-kawannya.
Selama di pondok inilah beliau benar-benar dapat melengkapi pengetahuannya di berbagai disiplin ilmu dan sosial kemasyarakatan serta bidang kerohanian dengan bimbingan langsung dari KH. Syamsul Arifin , KH. As’ad Syamsul Arifin juga Ny. Hj. Zubaidah dan Sukorejo pulalah yang menjadi pondok pesantren terakhir sebagai tempat petualangan pencarian ilmu. Oleh karena itu sifat dan ilmunya semakin matang sebagai bekal dakwah dimasa mendatang.
Pembelajaran pada waktu itu tidaklah sama dengan saat sekarang yang sudah dilengkapi dengan berbagai media dan bermacam-macam metode. Cara belajar hanya dilakukan dengan sistem wetonan atau bandongan dan sorogan . Akan tetapi cara klasik itu tidak menyurutkan langkah untuk terus belajar demi mendapatkan ilmu yang setinggi-tingginya.
Suatu saat beliau cerita kepada salah seorang santrinya yang bernama Anwar , “Pada waktu saya masih dibangku madrasah, saya selalu duduk begini (sambil memberikan contoh duduknya dengan meletakkan dahi ke bangku seperti orang tidur duduk) tapi saya tidak tidur, saya menghafal alfiyah. Saya ngomong begini tujuannya tidak lain kecuali agar hal itu ditiru para santri,” katanya. Tentu yang diharapkan beliau adalah meniru dalam hal giat dan tekun belajar, bukan meniru bagaimana cara beliau belajar apalagi yang berpotensi membuat santri tertidur. Beliau mengharapkan agar para santrinya, baik putra maupun putri bisa belajar dengan giat dan tekun sesuai waktu dan cara yang menjadi kesenangan masing-masing. Sebab masing-masing orang memiliki cara dan waktu sendiri yang disenangi agar mudah memahami pelajaran.
Setiap orang jelas berbeda waktu dan cara belajarnya. Diantaranya ada yang harus berada dalam kondisi sepi, sebagian lebih suka bila belajar sambil mendengarkan alunan musik. Semua terserah santri dengan satu tujuan, yaitu “belajar”.

BAGIAN 2
RUMAH TANGGA

A. Pernikahan
Setelah sekian tahun menjadi santri dan khadam kiyai As’ad tiba jualah Muhammad Tahri muda untuk berkeluarga. KH. Syamsul Arifin sangat jeli melihat kondisi tersebut. Beliau coba menawarkan seseorang yang tak lain masih termasuk keluarganya sendiri. “Kalau kamu ingin kawin disini ada seorang gadis masih termasuk cucu saya sendiri namanya Saudah,” kata Kiyai Syamsul Arifin. Beliau menjawab, “Saya masih punya keluarga di Madura, sebaiknya saya musyawarah dulu dengan mereka.” Beliau menjawab demikian karena sebenarnya di Madura sudah mempunyai tunangan. Mengetahui jawaban tersebut Kiyai Syamsul Arifin berkata, “kalau kamu tidak mau kepada cucu saya berarti kamu tidak suka kepada saya.” Dalam keadaan ragu dan bimbang untuk menerima atau menolak tawaran tersebut beliau istikharah. Pada suatu malam dalam istikaharahnya bermimpi melihat Kiyai Syamsul Arifin sedang berada ditempat gelap memegang kitab tanpa makna tanpa arti. Sekalipun tidak terlihat tulisan dengan jelas tetapi Kiyai Syamsul dapat membaca dengan baik dalam kegelapan. Setelah bangun beliau menafsiri mimpinya sendiri bahwa tidak ada jawaban lain berkaitan dengan tawaran itu kecuali kata “YA”. Kemudian beliau menjawabnya dengan mantap menerima tawaran itu walaupun tidak pernah tahu seperti apa dan anak siapa gadis yang bernama Saudah itu.
Hanya bermodal taat kepada guru beliau melangsungkan pernikahan dengan gadis bernama Siti Saudah binti KH. Abdul Fattah tersebut di dusun Nyamplong Sumberanyar Asembagus Situbondo. Beliau betul-betul tidak pernah tahu keluarga calon istrinya tersebut sehingga ketika selesai akad nikah beliau bermaksud sungkem dan salaman sambil mencium tangan sebagai tanda hormat kepada ayah dan ibu mertuanya serta keluarga yang lain. Beliau bersalaman dengan sopan sebagaimana layaknya penganten baru termasuk bersalaman kepada seorang perempuan agak gemuk yang sejak tadi terlihat duduk di depan pintu dan beliau mengira itulah ibu mertuanya. Namun kesesokan harinya setelah seluruh keluarga berkumpul baru tahu ibu mertua yang sesungguhnya dan saat itulah baru sungkeman. Setelah ditelusuri ternyata yang dicium tangannya tadi malam bukan ibu mertua tapi ibu kepala desa dari Perante Asembagus.
Pada umumnya orang membangun rumah tangga dimulai dengan sebuah rencana yang cukup matang dan kesiapan lahir batin. Namun tidak demikian dengan pemuda bernama Muhammad Tahri. Untuk menghadapi dunia barunya dalam mengarungi bahtera rumah tangga bisa dibilang tidak ada kesiapan terutama berkaitan dengan barang-barang yang akan dibawa ke rumah calon istri sebagaimana lazimnya sebuah perkawinan. Ketidak siapan harta karena memang lahir dalam keluarga ekonomi lemah dan jauh dari sanak famili. Sebuah barang berharga sebagai kenangan seorang suami kepada istrinya hanyalah sebuah “sisir kayu”.
Akan tetapi sebuah mutiara termahal yang sebenarnya menjadi daya tarik keluarga calon istrinya adalah ilmu pengetahuannya. Sehingga dengan ilmunya beliau dapat mengembangkan pondok pesantren yang dikelolanya kelak. Setelah menunaikan ibadah haji beliau juga berganti nama menjadi KH. Ishaq Zaini dan Nyai Saudah menjadi Ny. Hj. Sa’diyah.


B. Putra-putri
Sekian lama berumah tangga akhirnya KH. Ishaq dikaruniai buah hati. Putra-putri beliau secara berurutan adalah sebagai berikut:
1. KH. Abdullah Ishaq
2. KH. Zaini Ishaq
3. L. Haqqurrahman (alm)
4. KH. Badri Ishaq
5. Ny. Hj. Muslihah
6. KH. Arsyad Ishaq
7. Ny. Hj. Fathanah
8. KH. Thayyib Ishaq
9. KH. Abd. Fattah
10. Ny. Hj. Aminah
11. L. Muslim
Putra-putri beliau semuanya berasal dari ibu yang sama yaitu Ny. Hj. Sa’diyah kecuali L. Muslim. Sedangkan L. Muslim lahir dari Ny. Hj. Nur Hasanah istri kedua beliau sepeninggal Ny. Hj. Sa’diyah.
Sedangkan menantu beliau adalah:
1. Ny. Hj. Rosyidah istri KH. Abdullah Ishaq
2. Ny. Nur Hayati istri KH. Zaini Ishaq
3. Ny. Hj. Fairuzah istri KH. Badri Ishaq
4. KH. Badwi suami Ny. Hj. Mushlihah
5. Ny. Suhaminah istri KH. Arsyad Ishaq
6. KH. Miftah Amin (alm) suami Ny. Hj. Fathanah
7. Ny. Aisyah istri KH. Thayyib Ishaq
8. Ny. Zubaidah istri KH. Abd. Fattah Ishaq
9. H. Nahrawi/ Ust. Mahrawi (alm) suami Ny. Hj. Aminah
Adapun cucu-cucu beliau adalah:
No Nama Nama Orang Tua
Ayah Ibu
1 Hj. Zahratul Mawaddah KH. Abdullah Ny. Hj. Rosyidah
2 Afifatuz Zakiyah
3 Aisyah
4 Ulif Al Inayah KH. Zaini Ny. Nur Hayati
5 Moh. Kholil Jamil
6 Faizin Zaini
7 Halimatus Sa’diyah
8 Bad’ul Mashalih KH. Badri Ny. Hj. Fairuzah
9 Syajaratin Thayyibah
10 Alm. Muhammad al Musthofa
11 Sirajuddin KH. Badwi Ny. Hj. Mushlihah
12 Zakiyah Mahbubah
13 Musyrifatul Hasanah KH. Arsyad Ny. Suhaminah
14 Hadaiqa Ghulba
15 Musyrifatut Tahriyah
16 Abdul Mun’im KH. Miftah Amin Ny. Hj. Fathanah
17 Hasanain Machluf
18 Nailatun Nuraniyah KH. Thayyib Ny. Aisyah
19 Naili Qurrota Aini
20 Moh. Affan Fakhrillah
21 Ana Mar’atus Shalihah al Afiyah KH. Abd. Fattah Ny. Zubaidah
22 Ulfatul Mardliyah Ust. H. Nahrawi Ny. Hj. Aminah
23 Irsyadul Ibad


C. Pernikahan Kedua
Sepeninggal Ny. Hj. Sa’diyah KH. Ishaq sebenarnya bermaksud pulang kembali ke kampung halamannya di Jrangoan Sampang Madura. Namun maksud beliau tidak disetujui putra-putrinya bahkan dilarang. Mereka menginginkan beliau tetap mengasuh pondok pesantren sampai wafat karena beliaulah perintis Pondok Pesantren tersebut. Maksud ingin kembali ke tanah kelahiran bukan tanpa alasan. Beliau merasa dirinya hanyalah numpang dirumah istri karena pekarangan berasal dari leluhur Ny. Hj. Sa’diyah, seperti pernah terungkap, “saya ada disini hanya ikut Kyai Syamsul,” katanya. Setelah Ny. Hj. Sa’diyah wafat beliau merasa dirinya sudah bukan siapa-siapa lagi dan harus pergi dari pekarangan tersebut. Begitulah kata beliau tapi tidak kata putra-putrinya dan masyarakat serta para santri. Mereka sangat membutuhkan sosok seperti KH. Ishaq sebagai rujukan permasalahan yang dihadapi.
Oleh karenanya beliau menikah kembali dengan Ny. Muhasshanah pada tahun 1986. Setelah menunaikan ibadah haji Ny. Muhasshanah berganti nama menjadi Ny. Hj. Nurhasanah. Dua tahun kemudian lahirlah putra beliau yang bungsu hasil pernikahan yang kedua bernama Muslim. Sampai wafatnya beliau tidak memiliki keturunan lagi.

BAGIAN 3
ULAMA BELAKANG LAYAR

A. Kecintaannya Kepada NU
Diantara berbagai Organisasi Masyarakat (ORMAS) yang dicintai KH. Ishaq adalah Nahdlatul Ulama’ (NU) yang didalamnya juga ada tokoh besar KHR. As’ad Syamsul Arifin. Namun dalam keikut-sertaan beliau dibawah bendera NU tidak menonjol nampak dipermukaan karena beliau lebih suka bermain dibelakang layar dan namanya tidak ingin disebut-sebut dimuka umum serta tidak senang dipublikasikan. Hal demikian dilakukan karena murni dan ikhlas berjuang untuk agama melalui NU dan tidak butuh popularitas sebab takut terjebak riya’ dan sum’ah, sebuah penyakit hati yang sering tidak disadari kebanyakan orang.
Kecintaannya kepada NU secara struktural beliau tunjukkan dengan masuk dalam kepengurusan di tingkat MWC. Beliau ditunjuk sebagai Rais Syuriyah di MWC NU. Diantara kawan seperjuangan beliau di NU adalah KH. Bashrawi, KH. Ikram Dahlan, K. Musta’in, K. Rifa’i, ust. Arsuli yang semuanya dari Sukorejo. Ust. H. Almawi dari Sodung, H. Idris dari Banyuputih. Saat itu juga putra sulungnya KH. Abdullah Ishaq diajak turut serta membesarkan NU yang menempati bagian sosial. KH. Ishaq aktif di NU sampai wafat. Ini menunjukkan bahwa beliau cinta NU dan cinta umat.

B. Kiprah Politik
Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa KH. Ishaq tidak suka popularitas dan lebih senang berada dibalik layar sebagai sutradara, maka dalam dunia politik beliau tidak mau masuk dalam politik praktis. Sehingga beliau tidak pernah tercatat namanya sebagai pengurus salah satu partai saat itu walaupun beliau juga simpatisan partai tertentu. Alasan tidak masuk dalam politik praktis tentu karena tidak ingin terlibat dalm kebohongan-kebohongan politik, tidak mau menjadi budak politik yang bisa ditunggangi kepentingan tertentu dan tujuan sesaat. Beliau lebih suka hidup merdeka dan mandiri serta berdikari tanpa terikat protokoler sebuah partai politik.
Disamping itu juga karena beliau punya pondok pesantren yang diharapkan menjadi tujuan calon santri dari daerah manapun asalnya, ras apapun yang disandangnya, bahasa apapun yang digunakannya, siapapun orang tuanya, apapun tingkatan ekonomi dan jabatannya serta apapun partai politiknya. Semuanya kumpul dalam pesantren yang diasuhnya untuk menimba ilmu tanpa membedakan status dirinya.
Walaupun beliau tidak masuk ke dunia politik praktis, beliau juga turut mendukung partai yang dirasa membawa manfaat kepada masyarakat terutama umat islam. Beliau mendukung Partai NU ketika masih menjadi partai politik. Setelah NU kembali ke khitthah, kembali pada jati dirinya sebagai organisasi masyarakat (ORMAS) dan bukan partai politik, beliau mendukung PPP ketika jumlah partai dikerucutkan oleh pemerintahan orde baru. Saat itu partai yang ada hanya tiga, yaitu PPP, Golkar, PDI.
Dengan tidak masuk dalam politik praktis beliau berada disisi netral sehingga dakwah bisa diterima oleh semua kalangan tanpa kotak dan sket yang menghalanginya. Beliau bebas menerima tamu dan berdakwah di masyarakat karena tidak ada garis partai sebagai pembatas yang pada akhirnya beliau juga bersih dari caci maki pendukung partai lain. Sebuah pilihan tepat agar dakwah bisa diterima semua elemen masyarakat bukan hanya untuk kalangan tertentu.

BAGIAN 4
MEMIMPIN PESANTREN

A. Masa Awal Pesantren
Sebelum membahas kepemiminan KH. Ishaq ada baiknya kita sedikit menengok ke belakang untuk mengetahui latar belakang berdirinya Pondok Pesantren Nurul Huda.
Pada awalnya Nyamplong dan sekitarnya adalah hutan belantara yang dihuni oleh berbagai binatang hutan yang liar. Cikal bakal Pondok Pesantren diawali oleh KH. Arsyad yang semula berdomisili di Perante Asembagus mulai membabat hutan tersebut sekitar tahun 1900-an. Beliau mendirikan gubug ditengah hutan sebagai tempat peristirahatan. Sesuai dengan karakter hutan seringkali ketika KH. Arsyad istirahat dan tidur dibawah tikarnya terdapat beberapa ular besar sebesar paha orang dewasa. Namun binatang buas nan berbahaya itu seakan mengerti bahwa orang dihadapannya itu bukan orang biasa yang tidak boleh diganggu dan butuh bantuan. Sehingga beliau tidak pernah terganggu dengan kedatangan berbagai binatang hutan itu bahkan beliau merasa terbantu oleh makhluk Tuhan tersebut sesuai kapasitas dan keahliannya masing-masing. Ini adalah buah dari ketakwaannya kepada Allah SWT dan keistiqama-hannya dalam berdzikir sehingga binatang buaspun tidak pernah mengganggu bahkan membantunya. Perlu diketahui, bahkan patut ditiru dzikir beliau setiap malam menggunakan seabrek biji jagung yang ditaburkan dihalaman kemudian dipilih lagi sebagai hitungan wiridnya. Jika masih ada waktu, belum masuk waktu shalat subuh, maka jagung yang sudah dipilih ditaburkan kembali dan dijadikan hitungan wiridnya kembali. Begitulah cara wiridnya setiap malam sepanjang hayat hingga diberikan kelebihan-kelebihan oleh Allah SWT.
Setelah KH. Arsyad membersihkan semak belukar dan menebangi pohon-pohon seperlunya beliau membakar satu pohon kayu besar tepat didepan gubug peristirahatan. Besok harinya seseorang datang dari Panji Situbondo sedang mencari dari mana munculnya sinar tadi malam yang sempat menerangi alam dan terlihat sampai ke Panji. Ternyata sinar tersebut berasal dari api pembakaran kayu besar tersebut. Maka dari itu diketahui bahwa beliau tidak hanya semata-mata membakar kayu tanpa arti, namun itu dilakukan sebagai bagian dari sebuah istikharah. Dengan demikian dapat diperoleh hasilnya bahwa tanah hutan itu potensial untuk dikembangkan sebagai area pendidikan dan perjuangan di masa mendatang.
Pada masa awal pembukaan areal tersebut sebagai tempat pendidikan sekaligus tempat perjuangan melawan penjajah belum banyak santri yang bermukim karena masih belum terkenal ke berbagai daerah. Disamping pada saat itu juga masih belum diresmikan sebagai pondok pesantren dengan seperangkat AD/ART. Sementara sarana komunikasi hanya dari mulut ke mulut dengan transportasi tercepat adalah kuda dan belum canggih seperti sekarang. Namun perlahan tapi pasti santripun mulai berdatangan baik santri mukim maupun santri kalong .
KH. Arsyad mempunyai tiga orang putri. Salah seorang putrinya bernama Aisyah. Suatu malam istri KH. Arsyad bernama Ny. Hj. Aminah berhayal seandainya putrinya Aisyah mendapatkan jodoh Abdul Fattah. Abdul Fattah adalah santri KH. Syamsul Arifin asal Kembang Kuning Pamekasan Madura dan masih keponakan KH. Syamsul Arifin sendiri. Orangnya giat, cerdas dan pekerja keras serta taat kepada gurunya. Abdul Fattah disamping mondok juga berdagang pisang yang salah satu daerah kulakannya adalah Nyamplong. Sifat menonjol yang tampak dan menjadi daya tarik bagi Ny. Hj. Aminah untuk dijodohkan dengan putrinya adalah kejujurannya.
Ternyata bak gayung bersambut, malam hari Ny. Hj. Aminah mengidamkan Abdul Fattah menjadi menantunya, pagi harinya diwaktu Dluha KH. Syamsul Arifin datang meminang Aisyah untuk Abdul Fattah. Merekapun merajut rumah tangga sampai akhirnya memiliki lima orang putra-putri, yaitu Siti Saudah, Su’adah, Kholil, Abdullah, dan Sa’id. Diantara kelima putra-putrinya tiga orang meninggal sewaktu remaja, hanya tinggal dua orang yang hidup yaitu Siti Saudah dan Sa’id.
Dengan adanya KH. Abdul Fatah santripun semakin bertambah. KH. Abdul Fattah adalah santri KH. Syamsul Arifin yang banyak mendapatkan ilmu langsung dari beliau. Baik ilmu pendidikan, sosial maupun kanuragan untuk mengusir penjajah dan memberantas kejahatan. Salah satunya adalah minyak yang digunakan mengijazah orang lain pemberian KH. Syamsul Arifin untuk keperluan perjuangan menegakkan agama dan kemaslahatan umat.
Pondok pesantren ini sejak dirintis belum mempunyai nama hingga akhirnya Ny. Hj. Aisyah yang memberi nama Pondok Pesantren Nurul Huda. Sepeninggal KH. Arsyad kepemimpinan pondok pesantren sepenuhnya berada dibawah tangan KH. Abd. Fattah menantunya karena saudara-saudaranya yang lain tinggal di Perante Asembagus.
KH. Abd. Fattah bersama Ny. Hj. Aisyah terus bergerak mengembangkan pondok pesantren. KH. Abdul Fattah adalah orang yang memiliki tingkat keistiqamahan cukup tinggi. Beliau dzikir setiap malam dengan posisi soko nonggel . Tasbih yang digunakan wirid terbuat dari biji klerek sepenuh cobbu’ dengan memakai katrol. Dengan istiqamah tersebut beliau diberikan kelebihan-kelebihan oleh Allah SWT. Para security pondok pesantren bukanlah satpam tapi justru beberapa ekor harimau yang diantaranya berwarna putih bergelar “si kasur” karena kelihatan cantik dan gemuk. Ada juga yang berwarna kuning keemasan berjaga di lokasi putri dan yang paling angker harimau berwarna hitam yang selalu stand by di sebelah tenggara tempat garasi mobil sekarang. Mereka siap menjaga keamanan pondok pesantren dan santrinya setiap saat.
Setelah sampai waktu berumah tangga putri beliau yang bernama Siti Saudah juga melangsung-kan pernikahan dengan Muhammad Tahri. Mereka juga mulai membina mahligai rumah tangga sebagi-mana mestinya. Muhammad Tahri juga merupakan pribadi yang mencerminkan pemimpin dan pejuang sejati. Ketika berkesempatan menunaikan ibadah haji beliau berganti nama menjadi KH. Ishaq Zaini dan istrinya menjadi Ny. Hj. Sa’diyah.
Sejak keberadaan KH. Ishaq inilah pondok pesantren Nurul Huda mulai mengadakan pengemba-ngan yang signifikan. Bangunan yang semula bernama mushalla kemudian dibina’ mesjid. Tempat para santri belajar tidak cukup hanya di mushalla atau mesjid tapi mulailah membangun lokal madrasah. Sehingga dengan munculnya madrasah ini menambah daya tarik calon santri dari berbagai daerah karena tidak hanya mengaji tapi mereka juga berkesempatan belajar ilmu-ilmu lain sesuai dengan perkembanagan zaman.
Ketika KH. Ishaq membangun madrasah yang cukup luas menurut pandangan orang kala itu sempat ditegur oleh KH. Abd. Fattah mertuanya. “Untuk siapa bangunan madrasah seluas itu,” ujarnya. KH. Ishaq menjawabnya dengan simpel, “tidak apa-apa, kalau tidak dipakai mereka sendiri, untuk anak-anaknya, cucu-cunya.” Sebuah jawaban pendek yang mencerminkan mempunyai pandangan jauh kedepan.
Setelah KH. Abd. Fattah wafat tampuk pimpinan pondok pesantren jatuh kepada menantunya juga KH. Ishaq. Bukan tanpa alasan hal itu jatuh ke tangan KH. Ishaq. Beliau adalah pribadi yang kharismatik dan patut diperhitungkan. Istiqamah, cerdas, alim itulah sosok beliau. Dermawan, tawadlu’, sabar, demokratis itulah sifat beliau. Patuh dan taat kepada guru itulah kelebihan beliau. Ahli silat dan kanuragan itulah keistimewaan beliau yang memang sangat dibutuh-kan saat itu sebagai salah satu sarana perjuangan.
Pondok Pesantren mulai tertata secara resmi dimasa KH. Ishaq sekitar tahun 1950. Santri mukim mulai berdatangan satu persatu dari berbagai daerah. Santri pertamanya adalah Ali (dikenal Ali Akbar) dan Tusi bin H. Khathib dari Surabaya yang masih tergolong keponakannya sendiri. Secara berurutan kemudian menyusul Ali (dikenal Ali kecil) dari Jember, Abd. Wahid dari Balung Jember. Berawal dari 5 santri mukim kemudian menjadi 10, lalu 15, 25 dan 40 orang. Selanjutnya berkembang sampai sekarang.
Bangunan pondok pesantren awalnya terbuat dari kayu pinang pemberian KH. Syamsul Arifin. Kemudian diperbaharui menjadi lebih besar sebanyak lima kamar walaupun masih terbuat dari kayu juga. Selanjutnya menjadi delapan kamar dan pada akhirnya dibangun secara permanen. Santri putri semula sebanyak 18 orang dengan menempati balai. Balai bagian utara sebagai kamar dan bagian selatan sebagai mushalla. Mushalla putra juga dulunya terbuat dari papan kayu yang kemudian diperluas dan permanen hingga akhirnya dijadikan mesjid pada tahun 1964 M.
Setelah itu berdirilah lembaga pendidikan formal berupa Madrasah Ibtidaiyah yang siswanya masih lebih banyak warga sekitar daripada santri.

B. Program Kepesantrenan
Dewasa ini sebuah lembaga ataupun instansi pasti memiliki visi, missi dan program. Program jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Dengan adanya visi, missi dan program itu lembaga dan instansi tersebut menjadi lebih terarah.
Pondok pesantren Nurul Huda pada saat dipegang oleh KH. Ishaq belum memiliki visi, missi dan program secara tertulis karena saat itu pencatatan administrasi di berbagai lini masih belum tertata rapi seperti sekarang sebab berbagai keterbatasan. Segalanya masih serba tradisional. Dengan melihat gagasan-gagasan KH. Ishaq diatas sebenarnya beliau telah memiliki visi, missi dan program dimaksud. Hanya saja karena berbagai keterbatasan program yang ingin dijalankan tidak tertuang dalam tulisan. Pembangunan Madrasah adalah salah satu contohnya.
Dari sinilah santri dan masyarakat sekitar mulai digiring untuk mengikuti perkembangan. Beliau tidak banyak berpidato untuk memajukan langkah umat tetapi diwujudkan dengan tindakan nyata. Apalagi pemahaman masyarakat saat itu masih lemah sehingga butuh bimbingan langsung tanpa banyak retorika kosong tanpa wujud. Daya tangkap mereka tentang masa depan belum kuat, mereka hanya mampu menangkap dan berfikir tentang apa yang tampak. Oleh karenanya butuh tokoh sentral yang menjadi lokomotif pergerakan keilmuan dan itulah yang sudah dilakukan oleh KH. Ishaq.
Apabila kita merujuk kepada beberapa langkah dan wasiat beliau, maka dapat dijabarkan program kedepan yang ingin dijalankan beliau antara lain:
1. Pondok Pesantren harus tetap menjadi benteng perjuangan melawan kedhaliman
2. Pondok Pesantren harus senantiasa menjadi pusat kajian keilmuan
3. Pondok Pesantren harus tetap exis dengan ciri khasnya sendiri tanpa menutup diri untuk pengembangan keilmuan
4. Pondok Pesantren dapat menciptakan metode sendiri untuk memajukan umat tanpa meniru budaya lain yang tidak sesuai dengan pandangan syari’at tradisi pondok pesantren
5. Pondok Pesantren bisa menciptakan tradisi sendiri untuk melecut semangat belajar para santrinya
6. Putra-putri dan keturunannya tetap berjuang melalui Pondok Pesantren dan mengikuti jejak beliau dengan menyesuaikan terhadap perkemba-ngan zaman
7. Para santri harus tetap pada posnya dengan berakhlaqul karimah, tradisi pesantren dan semangat belajar yang tinggi agar tidak kalah bersaing dengan dunia luar
8. Alumni tetap turut memajukan pesantren dan menjaga nama baik almamater apapun profesinya dan dimanapun mereka berada

Sebenarnya masih banyak penjabaran dari langkah dan fatwa beliau sebagai cerminan program kedepan pondok pesantren tetapi tidak bisa kita bahas disini satu persatu.

C. Keistiqamahan
Istiqamah berarti berbuat sesuatu secara terus menerus setiap hari. Kata istiqamah sering dipakai untuk suatu amalan atau wirid yang dilakukan secara rutin. Sebagaimana layaknya kiyai lain tentu beliau memiliki keistiqamahan sebagai wujud hamba yang bertaqwa kepada Tuhannya dan taat kepada Rasul-Nya. Secara umum keistiqamahan beliau dibagi dua, yaitu amalan untuk diri sendiri dan perbuatan untuk orang lain.
Diantara keistiqamahan sebagai amalan pribadi antara lain:
1. Membaca Al-Qur’an
Pada usia 15 tahun ketika nyantri di Sampang beliau sering bermain di sungai hingga disanksi oleh sang Kiyai di kamar khusus membaca Al-Qur’an sampai khatam dan sejak itu pula membaca Al-Qur’an menjadi amaliah khatam setiap minggu sampai wafat. Ketika berada di Nyamplong KH. Ishaq istiqamah membaca Al-Qur’an setiap hari pukul 14.00 WIB dan malam hari setelah shalat tahajjud. Seminggu sekali khatam dengan cara khatam atau memulai membaca di makam KH. Syamsul Arifin di Sukorejo sebagaimana disampaikan ustadz Ach. Yani yang rutin mengantarnya.
2. Membaca Dalailul Khairat
Beliau membaca Dalailul Khairat setelah Ashar yang dilanjutkan dengan Mufarrijul Kurub. Dalail ini beliau diijazah oleh KH. Abdul Fattah mertuanya sendiri yang dapat ijazah dari Syaikhud Dalail Sayyid Muhammad Abdul Muhsin Ridwan bin Sayyid Muhammad Amin Ridwan di Babun Nabi Masjidil Haram Mekah
3. Membaca Mufarrijul Kurub wa Mufarrihul Qulub.
Mufarrijul Kurub beliau mendapat ijazah dari KH. Abdurrahman saudara kandung KH. As’ad Syamsul Arifin di Mekah. Ini dibaca setiap hari setelah Ashar bersama hizib-hizib lain.
4. Shalat Tahajjud
Shalat tahajjud dilaksanakan pada pukul 02.00 dini hari dan dilanjutkan dengan dzikir-dzikir lain sampai subuh
5. Shalat Dluha
6. Bersiwak sebelum shalat
7. Puasa Daud
8. Membaca Burdah
Burdah juga sering dibaca oleh beliau sambil mengelilingi lokasi pondok pesantren sebagai-mana dilakukan di berbagai pondok-pondok pesantren, kampung atau desa pada saat terjadi wabah penyakit menular.

Sedangkan keistiqamahan yang ada kaitannya dengan orang lain adalah:
1. Memberi pengajian Al-Qur’an setiap pagi setelah shalat subuh sampai waktunya para santri berangkat ke madrasah dan sesudah shalat maghrib.
2. Memberi pengajian Kitab setelah shalat Isya’
Kitab yang beliau ajarkan adalah:
a) Ilmu alat (nahwu-sharaf), antara lain:
 Jurumiyah
Santri putra dan putri masih berkumpul dalam satu lokasi dalam mengikuti pengajian kitab Jurumiyah saat itu karena beberapa faktor yang belum memungkin-kan untuk dipisah.
 Kafrawi
 Tashil
 Kailani
b) Tauhid, yaitu:
 Kifayatul Awam
 Hikam
c) Fiqh, antara lain:
 Sullam Safinah
Kitab ini dijadikan pengajian wirid oleh beliau, yaitu terus diajarkan walaupun sudah khatam berkali-kali. Kitab ini juga diajarkan secara sorogan dan hafalan sehingga santri-santri senior hafal kitab sullam safinah.
 Fathul Qarib
d) Hadits, antara lain:
 Arba’in an Nawawi
 Dzurratun Nashihin
e) Adab, yaitu:
 Bidyatul Hidayah


D. Keistimewaan dan Kelebihan
Pada umumnya orang yang memiliki keistiqa-mahan dan ketaqwaan kepada Allah SWT diberikan kelebihan-kelebihan yang tak dimiliki oleh orang kebanyakan. Demikian pula yang dialami oleh KH. Ishaq. Beliau termasuk salah seorang yang dikaruniai kelebihan itu.
Suatu hari ada tamu dari Surabya berkunjung kepada KH. Ishaq. Sesampainya di kediaman beliau matahari sedang terik diatas kepala. Anak si tamu menangis entah apa yang ditangisinya. Sambil menunggu beliau keluar menemuinya si tamu menenangkan anaknya. Terbersit dalam hatinya andaikan dia bisa mengambil beberapa buah jambu klutuk di depan surau untuk anaknya. Kebetulan didepan mushalla memang ada pohon jambu klutuk sedang berbuah lebat lagi ranum dan banyak pula yang sudah masak. Tak lama kemudian beliau keluar langsung ambil bangku dan sibuk memetik buah jambu yang masak tersebut. Si tamu hanya bisa melihat tanpa tahu apa yang harus diperbuat, juga tidak mengerti apa maksudnya. Ternyata beliau memberikan semua jambu yang dipetiknya itu kepada anak si tamu tersebut. Lagi-lagi dia hanya bisa termangu mengapa KH. Ishaq bisa tahu isi hatinya padahal dia tidak berbicara sepatah katapun.
Dilain waktu salah satu putra beliau yang bernama KH. Abd. Fattah ketika masih remaja merasakan sebuah keanehan ketika minta uang untuk membeli pakaian. Beliau memberinya uang pas dengan harga barang yang akan dibelinya padahal tidak pernah tahu berapa harga barang tersebut di pasaran. Kejadian lebih aneh lagi ketika ada keperluan di polres Situbondo. Beliau memberi uang yang lebih dari keperluan menurut KH. Abd. Fattah dan kelebihan itu ditolaknya. Tetapi beliau tetap menyuruhnya membawa uang yang diberikan. Ketika selesai keperluan di polres KH. Abd Fattah langsung pulang. Di perjalanan sepeda motor yang dikenda-rainya mengalami masalah dan harus masuk bengkel. Ternyata uang yang ada ditangannya hanya pas untuk keperluan di polres dan perbaikan motor tersebut.
Kejadian yang tak kalah aneh beberapa hari sebelum beliau wafat. Tanpa banyak orang yang tahu beliau kedatangan tamu yang cukup istimewa. Sayyid al Maliki guru KH. Abd. Fattah di Mekah berkunjung kepada beliau. Pembicaraan yang sempat terekam hanya nasehat Sayyid kepada KH. Ishaq agar beliau bersabar sembari menyerahkan beberapa foto berbagai ukuran.
Dilain tempat seorang alumnus yang tinggal di Malaysia bernama Sunawi didatangi beliau seraya berpesan agar dia istiqamah membaca shalawat. Padahal setelah dikonfirmasi kunjungan beliau ke Malaysia secara fisik itu (bukan mimpi) terjadi pada saat beliau telah wafat.
Malam hari sebelum beliau wafat banyak alumni di pulau Raas Madura, Galean Banyuwangi dan sebagian masyarakat di Sukorejo melihat keranda di angkasa dipikul orang-orang yang memakai gamis putih. Istri beliau Ny. Hj. Nurhasanah sempat bertanya kepada beliau apakah fenomina ini pertanda ada ulama besar yang akan wafat, beliau tidak menjawab dan hanya tersenyum. Tanpa ada firasat yang jelas ternyata keesokan harinya justru beliaulah yang wafat.
Pada saat beliau wafat ketika KH. Badri menuju kediaman beliau diluar komplek pesantren ada orang sedang jatuh dari pohon kelapa dan semaput sampai sore tidak ada yang menolong sampai akhirnya sadar sendiri. Disebelah timurnya ada kucing mati dan di timurnya lagi ada kambing mati. Tentu saja hal ini tidak sekedar kebetulan tapi sebuah pertanda bahwa salah satu putra terbaik bangsa telah pulang ke Rahmatullah.
KH. Thayyib menceritakan bahwa seringkali didatangi KH. Ishaq dalam mimpi berkaitan dengan suatu masalah. “Nak, bagaimana santri kok tidak dijaga,” katanya dalam mimpi. Tentu saja mimpi yang tak biasanya ini mengusik hati KH. Thayyib untuk meneliti apa maksudnya. Ternyata betul terjadi pelanggaran yang dilakukan sebagian santri, salah satunya nonton televisi di tetangga. Kejadian seperti ini bukan terjadi satu kali secara kebetulan, tetapi sudah terjadi berulang-ulang sehingga menjadi sebuah pertanda bagi KH. Thayyib setiap kali ada pelanggaran yang dilakukan sebagian santri.
Disamping itu beliau juga punya keahlian lain seperti mengobati orang sakit perut cukup ditulis diatas perutnya dengan lafadh-lafadh tanpa tinta dan ternyata manjur, sembuh.
Suatu ketika beliau bersama seluruh keluarga menghadiri undangan di pulau Sepudi Madura. Ketika berada di perairan Madura terjadi angin kencang dan gelombang yang cukup tinggi sehingga seluruh keluarga menjadi panik karena apabila perahu tenggelam, maka tidak tersisa keluarga yang akan melanjutkan perkembangan pondok pesantren kecuali Lora Abdul Fattah yang kala itu mondok di Mekah Arab Saudi. Sementara beliau tenang-tenang saja dan tersenyum ditengah kegaduhan seluruh keluarga dengan menyebut kalimat-kalimat suci bernada tobat. “Kalau terjadi seperti ini baru ramai-ramai menyebut nama Tuhan,” selorohnya dengan nada guyon. Beberapa saat kemudian beliau mengambil kertas kosong dan menulisnya dengan lafadh-lafadh tertentu kemudian melemparnya ke laut. Dengan izin Tuhan Yang Maha Kuasa angin dan gelombangnya lambat laun mereda dan tenang seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Salah seorang putra beliau, KH. Abdul Fattah pernah mohon dido’akan kepada Allah SWT agar suatu saat kelak mampu memberangkatkan istrinya naik haji sebagai hadiah mengajar ngaji, tahu-tahu terdengar suara beliau dengan jelas ditelinga “ya nak” katanya. Sebelumnya Ny. Zubaidah istri KH. Abdul Fattah bermimpi diberi baju serba putih oleh berliau padahal tidak pernah tahu sebelumnya seperti apa wajah asli KH. Ishaq. Hal ini terjadi sebelum ada rencana berangkat naik haji. Ternyata kejadian itu terjawab karena dalam waktu dekat Ny. Zubaidah akan berangkat menunaikan ibadah haji.
Suatu ketika ada salah seorang santri putra yang sedang mengamalkan mahabbah di ruang madrasah agar disenangi kaum hawa. Tanpa ada yang memberitahu beliau memanggil santri tersebut dan bertanya “di langit-langit madrasah itu apa? Santri menjawab, “beng-sabeng” (kotoran yang biasa ada di langit-lagit rumah semacam sarang laba-laba). “Walaupun kamu mengamalkan ilmu apa saja tapi madrasahnya kotor tetap saja jelek,” sambungnya. Santri tersebut merasa malu diketahui beliau dan sejak saat itu berhenti mengamalkan ilmu tersebut.
Kejadian demi kejadian tentu menjadi sebuah renungan bagi kita bahwa siapaun orangnya yang selalu menyandarkan segala sesuatunya kepada Allah SWT, maka dia akan disayang dan disenangi-Nya. Barangsiapa yang dicintai Allah, akan selalu berada dalam lindungan-Nya. Tidak menutup kemungkinan juga akan diberikan banyak kelebihan yang tidak dimiliki orang pada umumnya.
Kelebihan-kelebihan lain tentu banyak sekali yang tak mungkin dituangkan semuanya dalam tulisan ini disamping kelebihan yang tersembunyi dan tidak semuanya muncul di permukaan. Semuanya hanya Allah SWT yang Maha Tahu.

BAGIAN 5
PERAN KEPADA UMAT

A. Kiyai Ahli Kitab dan Kanuragan
KH. Ishaq termasuk salah seorang yang cinta ilmu. Sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu tentu yang menjadi perhatian utama adalah pendidikan agama. Beliau telah membuktikan kecintaannya kepada ilmu sejak berada di pondok pesantren Sumberpapan yang dibuktikan dengan menguasai kitab Alfiyah. Tidak mudah seseorang dapat memahami kitab tersebut, butuh waktu cukup lama dan ketelitian serta kejelian untuk dapat mengerti dengan baik. Namun beliau telah menunjukkan keseriusannya untuk menjadi orang ahli ilmu. Oleh karena Alfiyah adalah kitab ilmu alat yang cukup rumit, maka bagi orang yang sudah bisa memahaminya dengan baik tidak ada kesulitan untuk membaca dan mempelajari kitab lain, baik kitab-kitab ilmu alat maupun kitab-kitab lain seperti kitab Tafsir, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain.
Karena kepiawannya dalam otak atik kitab kuning beliau tidak ada kesulitan untuk memberi pengajian kitab kepada putra-putrinya sendiri, santri, maupun masyarakat. Putra-putri beliau juga sejak dini digembleng dengan kitab. Beliau tidak mau kecolongan putra-putrinya menjadi orang yang tak berilmu dan tidak bisa baca kitab. Putra-putrinya harus menghafal tashrif, maqshud, imrithi yang merupakan kitab dasar mempelajari nahwu sharaf. Mereka juga harus faham sullam safinah, kitab fiqh yang cocok untuk para pemula. Setelah shalat Ashar beliau mengajar kitab Zubad, Syarah Sullam, Azkiya’, dengan cara sorogan, sebuah cara yang efektif agar cepat memahami pelajaran dimana saat sekarang cara ini juga dipilih dalam pembelajaran di sekolah-sekolah formal dengan bahasa lain yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Quantum Learning atau bahasa lain yang lebih aktual namun memiliki kesamaan metode.
Tidak cukup putra-putrinya hanya mengenyam pendidikan dalam keluarga, beliau juga mengirim mereka ke pondok-pondok pesantren yang tersebar di nusantara ini. Rujukan utama pondok pesantren tujuan putra-putrinya adalah Sidogiri sebagai salah satu pondok pesantren tertua di negeri ini. Disamping itu juga salah satunya adalah pondok tertua di Sarang Jawa Tengah. Namun juga beliau tidak menutup jalan ke pondok pesantren lain. Bahkan salah satu putra beliau dikirim mondok di Mekah Arab Saudi.
KH. Ishaq dapat memetik hasil dari kegigihan-nya mencari ilmu setelah berada di Nyamplong dengan mengamalkan ilmunya di pondok pesantren maupun di masyarakat. Sampai saat ini amal beliau dalam dunia keilmuan dan pendidikan dikembangkan oleh ahli warisnya sehingga tetap menjadi ladang pahala yang bisa diterimanya secara terus-menerus. Melalui Pondok Pesantren (Nurul Huda) dan lembaganya inilah beliau dapat berperan serta memberikan wadah para pelajar mencari ilmu sesuai perkembangan zaman.
Dalam soal kanuragan beliau juga termasuk ahlinya sesuai situasi saat itu yang sangat dibutuhkan. Namun beliau memiliki kemampuan diatas rata-rata. Walaupun memiliki banyak kelebihan, baik kitab maupun kanuragan beliau tidak pernah mau menonjolkan hal itu. Sedangkan minyak yang biasa digunakan mengijazah para tamu juga warisan dari Kiyai Abdul Fattah hasil pemberian langsung KH. Syamsul Arifin. Setiap saat orang silih berganti datang ingin ijazah. Tamu terbanyak yang beliau layani pada tahun 1998 ketika suasana rawan dengan munculnya teror ninja. Setiap pagi sampai malam beliau menerima tamu yang umumnya mencakup keresidenan Besuki meliputi Situbondo, Bondowoso, Jember dan Banyuwangi. Dengan penuh rendah hati beliau tetap melayani para tamu yang berkunjung walaupun terkadang sangat lelah karena tamu datang secara bergelombang siang dan malam. Beliau tidak pernah menghiraukan rasa lelah karena sangat taat kepada guru. Beliau selalu berkata, “ini bukan tamu saya, tapi tamu Kiyai Syamsul dan Kiyai Abdul Fattah.” Oleh karenya setiap uang yang didapat dari tamu tidak pernah masuk ke kantong sendiri tapi semuanya untuk kepentingan perjuangan dan ibadah, salah satunya masjid Bindung.

B. Membimbing Rohani Umat
Peran KH. Ishaq untuk membimbing rohani umat sangatlah nyata. Hal ini dilakukan melalui beberapa jalan, diantaranya pondok pesantren dan lembaga pendidikannya, melalui pengajian yang bersifat umum, kunjungan door to door, maupun menyelipkan ketika seseorang datang bertamu. Beliau tak lupa selalu menyelipkan bimbingannya dalam setiap kesempatan. Beliau juga mendatangi arisan dengan jalan kaki sambil mengajak setiap orang yang ditemuinya untuk ikut menghadiri pengajian dan ust. Ach. Yani yang bertugas membawa lampu patromak (stronking) sebagai penerang jalan.
Pembawaan yang kalem dan lebih banyak memberikan contoh daripada menyuruh orang lain membuat beliau mudah diterima dengan baik oleh semua kalangan terutama masyarakat awam, karena masyarakat lebih percaya tingkah laku daripada kata-kata terutama saat kita hidup sekarang ini. Masyarakat butuh uswah (panutan) bukan hanya pidato kosong tak berisi apalagi orasi yang bersifat provokasi yang berakibat perpecahan. Beliau adalah sosok perekat umat pengayom masyarakat.

BAGIAN 6
FIGUR PANUTAN

A. Santun dan Humoris
Kesederhanaan dalam penampilan dan kelem-butan dalam berbicara diselingi humor menjadi ciri khas beliau dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahun 1990-an ketika penulis baru mondok di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo sudah akrab ditelinga tentang cerita KH. Ishaq dengan ilmu “songai rajenya” . Santri-santri senior Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo rata-rata sudah pernah ijazah ilmu tersebut. Dengan rasa penasaran suatu saat setelah isya’ penulis mengikuti beberapa orang teman yang ingin sowan kepada beliau dengan maksud ijazah “songai raje” . Kami menunggu sekitar setengah jam di surau kecil, lalu beliau keluar menemui kami duduk di tempat terbuka di halaman rumah (seingat penulis rumah paling timur). Kami duduk berhadap-hadapan dengan beliau sambil mendengarkan segala hal yang disampai-kannya. Kami merasa senang mendengar fatwa beliau yang disampaikan dengan santun dan sesekali diselingi humor-humor segar yang didapat dari pengalaman dan sesekali juga sesuai pemikiran beliau sendiri.
Kami terkesan dengan gaya beliau dalam menyampaikan segala hal yang berupa nasehat yang perlu kami implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak sama dengan yang ada dalam benak penulis sebelum berhadapan langsung yang semula kami mengira beliau merupakan sosok yang pelit berbicara dengan tatapan menegangkan karena identik dengan ilmu-ilmu kanuragan seperti yang biasa menjadi bahan pembicaraan saat itu.

B. Hidup Bersahaja
Kehidupan KH. Ishaq dalam kesehariannya jauh dari kemewahan dan tidak berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Beliau tidak suka berpakaian mewah walaupun sebenarnya mampu untuk membelinya. Beliau justru lebih senang memakai pakaian sederhana. Bahkan salah satu kesukaannya adalah jaz/safari yang sudah robek di bagian ketiak. Ketika ditegur oleh putra-putrinya bahkan cucu-cucunya jawabnya sangat sederhana, “biarlah tidak apa-apa, ini terasa dingin,” katanya. Entah memang pakaian itu terbuat dari bahan yang relatif dingin atau sekedar guyonan beliau karena terasa dingin bila angin bertiup melalui celah yang robek itu menembus pori-pori ketiak. Bila sarungnya robek beliau menjahitnya dengan tangan sendiri. Warna pakaian yang paling disukai adalah putih.
Bukti mencolok dari gaya hidup sederhana adalah kediaman beliau yang terbuat dari papan kayu sederhana bahkan rumah itu masih utuh sampai saat ini. Secara ekonomi beliau bukan tidak mampu membangun kediaman yang lebih layak disebut sebagai rumah pengasuh pesantren. Tetapi itu tidak dilakukan beliau karena lebih suka hidup sederhana. Menurut pandangan beliau lebih baik menyuburkan hati untuk dzikir kepada Tuhan daripada hanya bermewah-mewah dengan gedung dan materi sementara hati para penghuninya kering kerontang tidak dapat merasakan kesejukan dzikir dan nikmatnya ibadah.
Disamping sederhana dalam bangunan dan pakaian beliau hidup sederhana pula dalam hal pangan. Rutinitas masakan yang beliau konsumsi hanyalah nasi, sayur dan sambal terasi. Dengan menu ini beliau sudah merasakan nikmatnya karunia Tuhan yang luar biasa tanpa harus menghidangkan berbagai macam makanan dengan aneka rasa. Bukan tidak mampu beliau membeli atau membuat masakan yang membangkitkan selera makan dan mengundang decak kagum. Beliau lebih memilih jalan sederhana karena tidak ingin kalah dengan nafsunya. Beliau berusaha sekuat tenaga mengalahkan nafsunya karena yakin nafsu itulah yang dapat menjerumuskan manusia ke lembah kehinaan. Ini sangat kontras dengan gaya hidup kita zaman sekarang yang bergaya serba elit tanpa melihat isi kantong. Di era ini justru ramai-ramai memanjakan nafsu diberbagai hal tanpa peduli bahaya yang sedang mengincarnya karena malu dikatakan kere dan ketinggalan zaman.
Dengan hidup serba sederhana dapat memberikan pelajaran kepada diri sendiri bahwa manusia adalah fakir dihadapan Tuhannya, tidak perlu menonjolkan kemewahan dunia sebab itu tidak berarti apa-apa disisi-Nya. Selain itu pula bisa menumbuh-kan kepekaan sosial terhadap mereka fakir miskin yang tak dapat merasakan makan enak, tidur nyenyak, pakaian indah, kendaraan mewah. Sebuah sifat yang dicontohkan Rasulullah SAW dan ditiru KH. Ishaq dalam kehidupan sehari-hari.

C. Berjiwa Dermawan
Dermawan adalah ciri khas para tokoh masyarakat sejati, para kiyai, dan ulama’. Demikian juga halnya dengan KH. Ishaq. Beliau adalah sosok pemimpin yang dermawan dan sangat memikirkan kepentingan dan kemaslahatan umat. Salah seorang khadam beliau bernama Fathorrahman pernah merasakan sifat dermawan beliau. Suatu saat dia pamit berhenti mondok mau bekerja membantu orang tuanya. Beliau melarangnya seraya berkata, “Kamu tidak usah berhenti, tetap mondok disini makan disini. Nanti juga kalau mau kawin saya yang akan mengawinkan kamu, biayanya saya yang menang-gung semuanya.” Ini menunjukkan kepedulian beliau terhadap orang berekonomi lemah tapi gemar mencari ilmu.
Disisi lain Maswi memaparkan pengalaman yang dirasakan ketika menjadi khadam beliau. Ketika ingin melanjutkan pendidikannya dia dianjurkan ke Sidogiri. Dia mulai berpikir tentang biaya hidup karena juga termasuk golongan ekonomi lemah dan bapak-nya meninggal dunia. Tapi justru KH. Ishaqlah yang memberi semangat dan menanggung biayanya. “Saya dikirim oleh kiyai, kalau Lora Kholil dikirim tiga puluh ribu, saya juga tiga puluh ribu,” ujar Maswi. Dalam hal ini beliau tidak membedakan antara cucu dengan orang lain karena sama-sama membutuhkan.
Sifat dermawan beliau juga tampak ketika ada orang yang menyukai apa yang beliau pakai. Saat itu juga barang itu dilepas dan diberikan kepada orang yang menyukainya tersebut. Beliau tidak pernah berfikir apa dan berapa harga barang yang diberikan pada orang lain. Selama barang itu bermanfaat bagi orang lain beliau tidak segan-segan memberikan barang itu. Hal tersebut juga terjadi ketika awal-awal listrik masuk di sekitar Nyamplong. Pada saat itu listrik belum bisa masuk di area pondok pesantren karena terkendala tiang. Tanpa pikir panjang dan tak peduli besar biaya yang harus dikeluarkan beliau membeli sendiri tiang listrik untuk menerangi pondok pesantren dan masyarakat sekitarnya tanpa minta sumbangan sepeserpun yang penting bisa bermanfaat bagi masyarakat umum. Ternyata sampai saat ini sangat terasa manfaatnya walaupun mungkin masyarakat banyak yang belum tahu asal usul masuknya listirik tersebut karena menurut beliau memang tidak perlu mempublikasikan itu semua dan tak perlu pamer kebaikan. Semuanya dikerjakan atas azas manfaat dan murni ikhlas karena Allah SWT.

D. Pribadi Hilim
Pada waktu penulis mengikuti teman-teman untuk ijazah, setelah sekitar setengah jam kami mendengar berbincang dan mendengarkan fatwa-fatwa beliau baik yang berkaitan dengan ibadah, ssosial dan lain-lain, salah seorang teman memberanikan diri mengutarakan maksud yang ingin diminta. Mendengar maksud kami untuk ijazah beliau tersenyum dan menanggapinya dengan arif dan santai. Sejurus kemudian dari lisan beliau terlontar banyak hal terkait dengan apa yang kami minta. Beliau memaparkan panjang lebar tentang manfaat dan resiko bagi orang yang telah diijazah. Bahkan beliau menceritakan pengalaman memilukan bagi salah seorang perempuan yang menanggung resiko dari perbuatannya setelah diijazah karena melanggar pantangan yang harus dijauhinya. Beliau memaparkan bahwa suatu saat datang seorang perempuan untuk ijazah songai raje, beliaupun mengabulkannya karena terlihat dari penampilan fisik yang memungkinkan dan raut muka yang cukup berumur sehingga tidak ada kekhawatiran untuk menolaknya. Apalagi sifat beliau yang tidak bisa menolak bila dimintai bantuan orang lain untuk kemaslahatan. Namun beberapa bulan kemudian dia datang kembali dengan fisik yang tak lagi utuh seperti semula karena ada bagian tubuh yang telah bolong akibat melanggar pantangannya. Dia ceritakan semua yang terjadi dan memohon agar beliau melepas ijazahnya. Jawaban beliau sangat singkat menang-gapi kenyataan tersebut. Beliau berkata “ini bukan baju yang tergantung pemakainya, bisa dipasang atau dilepas sesuai keinginan”.
Kami faham dengan contoh konkrit yang disodorkan dihadapan kami. Berani berbuat berani menanggung akibat. Siapa menanam dialah yang menuai. Begitulah kira-kira maksud yang ingin disampaikan. Beliau tidak ingin hal itu terulang kembali. Apalagi beliau melihat kami sebagai anak muda yang rentan terhadap pelanggaran. Dengan mengutarakan kenyataan yang terjadi beliau secara tidak langsung mengharapkan kami memper-timbangkan kembali maksud kami tersebut. Apakah melanjutkan permintaan tersebut atau menggagal-kannya karena pada umumnya para pemuda masih sulit mengekang hawa nafsunya dan mudah terbujuk dan terbuai oleh hal-hal yang tampak menyenangkan dibalik jurang bahaya yang bisa mencelakakannya setiap saat.
Dari hal ini kami mendapatkan sesuatu yang berharga bahwa seseorang menyadarkan orang lain tidak perlu terlalu banyak retorika hampa yang mengawang di angkasa namun tak bisa landing dihati para pendengarnya. Dimalam yang sejuk dengan sentuhan kalbu dan contoh-contoh dunia nyata yang cukup menyejukkkan relung hati membuat kami manggut-manggut seraya berpikir keras terhadap keputusan yang akan diambil.
Tanpa terasa lima setengah jam kami duduk karena merasa mendapatkan banyak pelajaran hidup yang sangat berharga. Tepat tengah malam kami mulai melaksanakan prosesi ijazah yang dipimpin beliau dengan hati-hati, teliti dan telaten. Kami mengikuti perintah beliau melalui tindakan dan ucapkan yang sama dengan yang beliau ucapkan. Sekitar pukul 01.00 dini hari kami berpamitan pulang. Dari peristiwa inilah kami bisa menyimpulkan bahwa beliau bertindak hati-hati dalam segala hal. Tidak mudah memberikan sesuatu apabila membahayakan orang lain walaupun akibat dari perbuatannya sendiri.
Dalam kesempatan lain beliau berkata kepada putra-putrinya, “Jangan mau menjadi anak ketimun, dielus-elus untuk dilumat.” Maksudnya jangan mudah terpedaya oleh rayuan ataupun iming-iming yang justru membahayakan diri sendiri. Beliau bermaksud agar putra-putrinya selalu waspada dan hati-hati dalam bertindak jangan mudah tertipu oleh fatamorgana yang justru berdampak negatif bagi keluarga dan pondok pesantren.

E. Sosok Demokratis
Dalam berbagai hal yang berkaitan dengan keluarga maupun masyarakat beliau seringkali meminta pertimbangan dan pendapat orang lain termasuk kepada putra-putrinya sendiri. Beliau tidak merasa malu untuk mengikuti pendapat orang lain apabila dipandang baik dan bermanfaat. Beliau juga tidak segan-segan membuang egonya dan mengambil sebuah pendapat yang datang dari putra-putrinya kalau dirasa lebih menguntungkan. Beliau tidak menonjolkan ego didepan para santri sebagai pengasuh pesantren yang harus selalu ditaati. Beliau tidak menampakkan ego dihadapan khalayak sebagai tokoh masyarakat yang harus selalu disetujui. Bahkan beliau juga tidak menampilkan ego didepan putra-putrinya yang harus selalu dipatuhi. Tapi beliau menganut sistem aman dan azas manfaat. Dari manapun datangnya pendapat itu kalau dirasa lebih aman dan dipandang lebih bermanfaat beliau tidak segan-segan melaksanakannya walaupun tidak enak dirasakan dirinya sendiri. Sehingga untuk melakukan sesuatu yang membawa dampak dan menanggung resiko pasti beliau bermusyawarah terlebih dahulu dan pendapatnya sendiri tidak mutlak harus disetujui. Apa yang diputuskan bersama itulah yang dijalankan sehingga aman bagi semuanya dan manfaat dirasakan bersama. Andaikan ada resikopun ditanggung bersama tidak menjadi cercaan dan makian orang lain karena sudah menjadi keputusan bersama yang manis getirnya harus ditanggung bersama pula.
Suatu ketika beliau berkata, “Saya ngaji kepada Badri.” Hal itu berarti beliau tidak malu mengakui kelebihan orang lain dan mengambil pendapatnya walaupun kepada putranya sendiri yaitu KH. Badri putra keempat beliau.
Sifat demokratis juga sering dirasakan ustadz Ach. Yani bila dimintai bantuan sesuatu. Apabila KH. Ishaq minta bantuan orang lain, beliau tidak langsung menyuruhnya meskipun kepada santrinya sendiri maupun alumni yang seratus persen tidak akan menolaknya sesibuk apapun dengan kegiatannya sendiri. Beliau selalu bertanya terlebih dahulu bisa atau tidak bisa melakukan hal itu serta kapan bisa mengerjakannya.
Inilah pribadi yang harus ditiru oleh kita. Baik posisi kita sebagai pengasuh pesantren, sebagai tokoh masyarakat, tokoh politik, ataupun kita sebagai kepala rumah tangga maupun kita sebagai orang tua. Laki-laki maupun perempuan jenis kelamin kita. Sebab bukan hanya pemimpin yang berhak bicara. Masyarakat awam, santri, murid, anak cucu, bahkan pembantu sekalipun punya hak mengeluarkan pendapatnya dan berhak untuk diterima dan dijalankan bila untuk kebaikan bersama. Namun tidak mudah memiliki sifat demokratis seperti beliau. Butuh lapang dada, luas hati, dan buang egoismenya.
Apabila demokrasi ada pada sebuah keluarga, maka akan menjadi keluarga yang harmonis. Kalau demokrasi ada pada orang tua, maka anak merasa terlindungi. Jika demokrasi ada pada atasan, maka bawahan merasa terayomi. Juga demikian bila demokrasi ada pada pemimpin, maka rakyat menjadi tenteram tanpa gejolak.

F. Tawadlu’, Wara’ dan Konsisten
KH. Ishaq adalah salah satu potret orang yang memiliki sifat rendah hati. Ini terbukti setiap kali ditanya tentang nasabnya beliau tidak pernah memberi tahu yang sesungguhnya. Bila ada yang bertanya beliau selalu menjawab “untuk apa bertanya nasab, saya malu khawatir tidak sama dengan mereka, lebih baik kita perbaiki diri sendiri tidak perlu melihat keturunan siapa. Saya tidak mau menyebut-nyebut nasab takut seperti mothak apajungan (monyet pakai payung)”. Maksudnya sebaik apapun payung yang dipakai oleh monyet, pemegangnya tetaplah monyet, diberi pisang payung dilepas. Mudah menjual nama baik demi kesenangan sesaat, serakah dan sifat jelek lainnya.
KH. Ishaq tidak mau mengandalkan kebesaran nasab tetapi lebih memperhatikan perbuatan diri sendiri. Tidak perlu membanggakan leluhur sementara diri sendiri hampa tanpa isi. Oleh karenanya beliau selalu menjaga diri sendiri dan selalu berusaha menjadi orang yang diridlai Tuhan. Beliau pernah berkata, “saya mampu untuk membuat rumah yang cukup bagus dengan keramik terbaru, tapi saya tidak mau. Saya malu kepada Tuhan kalau punya rumah bagus sementara pondok jelek bahkan ambruk.” Beliau juga menolak ketika mendapat tawaran rehab madrasah dari Departemen Agama seraya berkata, “kalau rehab diserahkan kepada pemerintah, lalu saya apa?” Bahkan beliau tidak pernah membelikan perhiasan istri karena sibuk membangun sarana ibadah dan pendidikan.
Dilain kesempatan ada orang yang mau menyumbang material madrasah sebanyak enam lokal tapi beliau tidak mau, lalu katanya “saya tidak mau karena khawatir madrasah mapan tapi murid dan gurunya yang tidak mapan. Saya membuat madrasah tidak untuk popularitas dan dipuji orang tapi semata-mata mencari ridla Allah SWT.”
Pada suatu hari beliau didatangi warga keturunan Tinghoa membawa satu koper uang untuk diberikan kepada KH. Ishaq asalkan mau menandatangani pendirian sebuah gereja di dusun Nyamplong. Namun beliau tidak mau seraya berkata “saya tidak mau menukar iman, harga diri dan aqidah umat dengan satu koper uang”.
Hal-hal tersebut diatas menunjukkan betapa beliau sangat gigih dan konsisten dalam perjuangan yang diyakini kebenarannya tanpa terpengaruh oleh gemerlap dunia dan kesenangan sesaat dalam menegakkan sendi-sendi agama, menjaga aqidah umat dan moral bangsa.

G. Lapang Dada
KH. Ishaq adalah satu diantara segelintir orang yang mampu membuang ego pribadinya walaupun kepada putra-putrinya sendiri. Sering kita temukan orang tua yang tidak mau mengakui kesalahan didepan anak-anaknya. Beliau dengan lapang dada mengakui kesalahannya dihadapan putranya sendiri sebagaimana pernah dilontarkan kepada KH. Thayyib Ishaq. Hal ini bermula ketika beliau membuat kamar mandi dengan rencana bagian dalam memakai tembok keramik. Tapi KH. Thayyib menyarankan tidak perlu dikeramik karena hanya untuk keluarga dan posisinya masih didalam lokasi rumah, tapi cukup dicat dengan cat taman/kolam agar tembok tidak mudah rapuh bila kena air, tapi tembok harus dikeringkan dulu agar hasilnya bagus. Beliau setuju dengan usulan itu. Sebelum tembok kering beliau menyuruhnya agar segera mengecat tembok tersebut. Berdasar keinginan patuh terhadap perintah orang tua, KH. Thayyib segera mengecatnya walaupun tidak sesuai dengan maksud sendiri agar tembok kering terlebih dahulu. Setelah dicat, kamar mandi digunakan sebagaimana mestinya, tapi catnya mengelupas. Beliau kemudian bertanya kepada KH. Thayyib mengapa catnya mudah rusak dan mengelupas. KH. Thayyib menjelaskan bahwa faktornya tembok belum kering. Beliau berkata, “orang tua bisa benar dan bisa saja salah. Kalau benar wajib diikuti, tapi kalau salah walaupun orang tua jangan diikuti. Orang tua meskipun mengutuk anaknya, tapi anak dalam posisi benar, maka kutukannya tidak akan berpengaruh”.
Hanya orang yang berjiwa besarlah yang dengan lapang dada mengakui kesalahan sendiri, lebih-lebih didepan anaknya sendiri. Seperti itulah yang telah dipraktekkan KH. Ishaq. Sebuah sifat yang jarang dimiliki oleh orang yang merasa mempunyai kekuasaan, baik kekuasaan berupa jabatan (atasan terhadap bawahan), harta (majikan/ bos terhadap pembantu/karyawannya), jasa (pemberi jasa terhadap orang yang berhutang jasa), maupun kekuasaan yang berbentuk nasab (orang tua terhadap anak-anaknya).

BAGIAN 7
AKHIR KEPEMIMPINAN

a. Nasehat dan Wasiat KH. Ishaq
KH. Ishaq selama hidupnya seringkali menyisipkan nasehatnya ketika sedang ngobrol santai. Baik kepada putra-putrinya sendiri, santri, tamu, maupun masyarakat umum. Sehingga nasehatnya terpencar diberbagai pihak dan berbagai daerah. Namun ada beberapa nasehat ataupun wasiat yang dapat terhimpun dalam tulisan ini.
Salah satu wasiat beliau kepada putra keempatnya KH. Badri adalah tentang pentingnya sambungan atau keterkaitan antara guru dengan murid. “Ilmu itu mudah didapat tapi sambungan dengan guru yang susah,” katanya. Sebuah wasiat juga dengan cara yang tidak lazim kepada salah seorang alumnus Nurul Huda bernama Sunawi . KH. Ishaq berpesan, “ istiqamahlah kamu membaca shalawat,” ujarnya, padahal saat itu beliau sudah meninggal. Sunawi mengatakan bahwa dia tidak bermimpi tapi beliau datang seperti biasanya sehingga membuatnya kaget karena dia tinggal di Malaysia.
Beliau juga pernah berpesan kepada putranya KH. Abd. Fattah ketika akan berangkat mondok di Mekah. “Jadi laki-laki jangan penakut, kalau saya mati lebih dulu relakan saja dan kalau kamu yang mati duluan saya rela,” katanya. Ini mengandung penger-tian bahwa seseorang terutama laki-laki harus berani mengambil langkah untuk kebahagian masa mendatang dan harus siap menghadapi segala resiko yang tidak menyenangkan. Wasiat ini disampaikan untuk menenangkan jiwa putranya agar tidak bimbang untuk berangkat mencari ilmu dan tenang selama di perantauan walaupun harus menanggung resiko kehilangan orang-orang yang dicintainya.
Ny. Hj. Fathanah juga menyampaikan bebe-rapa wasiat KH. Ishaq, diantaranya:
1. Dimanapun kalian berada harus tetap ikut merawat dan memikirkan perkembangan pondok pesantren.
2. Janganlah kalian mengajar santri di rumah, tapi mengajarlah di Mushalla
3. Jangan menyuruh santri untuk bekerja pada saat kegiatan keagamaan atau pendidikan sedang berlangsung

Wasiat-wasiat diatas dapat kita terjemahkan sebagai berikut:
1. Beliau berwasiat agar putra-putrinya selalu berpikir dan berusaha mengembangankan pondok pesantren dimanapun mereka berada. Demikian juga dengan alumninya dimanapun mereka berada, apapun profesi mereka tentu juga perlu turut membantu pondok pesantren sesuai dengan kemampuan dan keahlian masing-masing.
2. Beliau menghendaki agar putra-putrinya mengajar di Mushalla atau Mesjid tidak dengan cara memanggil santri ke rumahnya. Dalam perkemba-ngannya tentu hal ini perlu disikapi dengan bijak dan disesuaikan dengan perkembangan kondisi. Apabila santri semakin banyak dan kegiatan semakin padat serta tingkat pemahaman santri yang berbeda-beda tentunya juga harus menggunakan cara lain yang dipandang lebih efektif daripada terjadi penumpukan di Mushalla atau Mesjid yang mengakibatkan konsentrasi belajar mengajar tidak maksimal. Sebab inti dari kemauan beliau adalah agar putra-putrinya mempunyai spirit untuk tetap mengajar sesuai dengan kemampuan atau jadwal mereka masing-masing. Beliau ingin putra-putrinya serius dalam mengajar dan membimbing para santri. Demikian juga halnya dengan alumni yang memiliki santri, baik santri mukim atau santri kalong. Sebuah ungkapan sederhana yang disampaikan beliau tetapi sebenarnya mempunyai makna yang sangat luas.
3. Kometmen beliau terhadap keilmuan tidak diragukan lagi. Salah satunya dibuktikan dengan wasiat beliau agar tidak menyuruh santri untuk bekerja pada saat kegiatan keagamaan dan keilmuan berlangsung. Beliau menghendaki para santri tenang beribadah dan belajar tanpa terganggu dengan hal-hal lain yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan tersebut. Justru beliau marah kalau kegiatan santri terganggu oleh hal-hal yang tidak mendukung pembelajaran.

Salah satu wasiat beliau juga kepada Ny. Hj. Fathanah, “ membangun pondok pesantren harus ikhlas karena Allah SWT, jangan karena lain-lain.” Sedangkan wasiat kepada putra sulungnya KH. Abdullah Ishaq adalah “ Bangunlah pada pertengahan malam yang akhir , shalat tahajjud, membaca Al-Qur’an walaupun hanya satu juz, Dalail dan Mufarrijul Kurub.” Ini menunjukkan pendidikan rohani yang sangat berharga dari beliau agar putranya juga memiliki keistiqamahan sebagai ciri khas seorang pengasuh Pondok Pesantren.
KH. Ishaq juga pernah menyampaikan kata-kata filosofi kepada putra-putrinya. “Emas walaupun dibungkus dengan tahi sapi tetap emas. Sebaliknya, tahi sapi walaupun dibungkus dengan ketan tetap tahi sapi,” katanya. Artinya orang yang baik walaupun dicerca dan dicaci maki serta difitnah akan tetap kelihatan baik. Orang yang jahat sekalipun berpura-pura baik dan berpakaian serba indah mengesankan akan tetap kelihatan belangnya. Kebaikan walaupun ditutup-tutupi akan muncul dipermukaan, sementara kejahatan juga walaupun ditutup rapat-rapat pada akhirnya akan terbongkar. Dengan ini beliau berpesan agar tetap menjadi orang baik dan berbuat baik kepada siapapun juga.
Adapun wasiat yang pernah disampaiakan kepada putra kedelapan beliau KH. Thayyib terbagi kepada beberapa bagian, yaitu:
1. Pendidikan dan Pemikiran
Ketika lora Thayyib mondok di Sidogiri beliau berpesan, “yang harus dikerjakan di pondok adalah shalat jama’ah dan ngaji agar bersambung dengan guru”.
KH. Ishaq juga pernah berpesan kepada salah seorang putra yang lain, “jangan menjadi orang-orangan ditengah sawah, hanya bergerak saat ada angin setelah selesai panen menjadi bahan bakar”. Wasiat ini sangat berharga bagi keluarga, santri, alumni maupun masyarakat luas agar menimba banyak ilmu dan mengembangkan pemikiran supaya mampu mengeluarkan ide-ide segar serta inovasi untuk kemajuan masyarakat dan bangsa tidak hanya sekedar menjadi penonton yang hanya siap bersorak bila ada yang cocok dan mencemooh kalau ada yang dirasa tidak cocok. Beliau berharap kita menjadi pemain yang bisa menguasai panggung dan mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Ibadah
Dalam soal ibadah beliau juga berpesan, “Sekalipun kamu dalam kesusahan tetap shalat jama’ah dan istiqamah. Kalau ibadah harus karena Allah jangan karena saya, sebab kalau ibadah hanya karena saya nanti kalau terjadi ketidakcocokan dengan saya kamu akan berhenti shalat. Tapi kalau murni karena Allah, sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun kamu akan tetap melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya”. Beliau juga berpesan agar banyak-banyaklah membaca Al-Qur’an.
KH. Ishaq juga menyampaikan keistimewaan Al-Qurr’an, katanya “orang yang banyak dan sering serta istiqamah membaca Al-Qur’an apabila mati jasadnya tidak akan dimakan ulat”.
Dalam menjalankan wasiat KH. Ishaq berkaitan dengan shalat jama’ah, KH. Thayyib berusaha melakukannya bersama santri walaupun tidak secara penuh dan bersama keluarga. Hal ini diawali dengan sebuah mimpi. Suatu saat KH. Thayyib bermimpi berada di masjid dua lantai untuk melakukan shalat jam’ah maghrib. Di lantai dasar ada KH. Ishaq dan di lantai dua ada KHR. As’ad Syamsul Arifin dan tidak ada yang mau menjadi imam shalat sampai akhirnya KH. As’ad menyuruhnya menjadi imam. Dari sini KH. Thayyib menafsiri bahwa dirinya harus melakukan shalat jama’ah. Disamping itu juga apabila KH. Thayyib merasa malas melakukan shalat jama’ah, maka KH. Ishaq datang dalam mimpi sehingga merasa selalu dipantau oleh beliau yang setiap saat datang menegurnya walaupun dalam mimpi karena sudah berbeda alam.
3. Sosial
Ada beberapa hal wasiat KH. Ishaq kepada putranya KH. Thayyib yang berkaitan dengan urusan sosial. Beliau berkata, “Seseorang tergantung dirinya sendiri, kalau baik kepada orang lain maka orang lain juga akan berlaku baik kepadanya”. Beliau juga berkata, “orang yang membuat senang terhadap anak kecil, dia mendapat pahala besar. Kalau tidak bisa membuat senang anak kecil berarti dia banyak dosa”.
4. Rezeki/harta
Pesan ini disampaikan kepada putra beliau pada saat KH. Thayyib membuat kandang ayam, beliau tanya, “kamu sedang kerja apa?”. KH. Thayyib menjawab, “membuat kandang ayam”. Lalu beliau berpesan, “harta tak perlu dicari. Nenek moyang kita tidak ada yang kaya tapi semuanya mengajar ngaji”. Pesan ini tentu berdampak bagi para pembaca karena terkesan mengenyampingkan usaha yang sebenarnya juga dianjurkan dalam Islam. Pesan ini tidak bisa hanya sekedar dilihat dari kalimat implisitnya, tetapi juga secara eksplisit. Sebab pesan ekplisit kalimat tersebut adalah beliau mengharapkan semua putranya lebih mengutamakan mengajar Al-Qur’an dan ilmu lain serta tidak mendahulukan urusan harta dunia sebagaimana telah dicontohkan oleh para pendahulunya. Ibaratnya, orang tanam padi rumputpun turut tumbuh. Tetapi orang tanam rumput tidak akan tumbuh padi. Artinya, kalau seseorang mendahulukan kepentingan akhirat, maka dunianya akan ikut dengan sendirinya. Tetapi orang yang hanya mendahulukan kehidupan dunia, maka akhirat tidak akan mendapatkan apa-apa.
5. Diri dan Keluarga
Beliau berpesan juga berkaitan dengan dirinya dan keluarga agar selalu dido’akan supaya dosa-dosanya diampuni.

KH. Thayyib juga ingat tentang pesan KH. Ishaq secara umum pada hari Ahad tanggal 22 Syawal waktu Ashar, katanya, “santri yang ada disini wajib sekolah dan ngaji”. KH. Ishaq dengan wasiatnya ini ingin melihat agar santri semuanya memiliki rutinitas belajar ketika berada di pondok pesantren sebagai wahana memperluas cakrawala keilmuan mereka untuk persiapan hidup berada di lingkungan masyarakat masing-masing.
Wasiat KH. Ishaq ini hanya sekelumit yang dapat terhimpun di buku ini dan tentu masih banyak wasiat beliau yang belum terungkap di masyarakat, alumni dan simpatisan, baik disampaikan secara khusus maupun umum, secara resmi maupun santai. Namun semua wasiat beliau yang disampaikan dengan cara apapun tentu juga seharusnya menjadi perhatian dan pengamalan santri saat ini agar tetap bersambung dengan beliau dan mendapatkan barokahnya.

b. Detik-detik Menjelang Wafat
Tidak ada firasat apa-apa menjelang wafatnya KH. Ishaq. Keadaan tampak biasa-biasa saja dan berjalan seperti tidak akan terjadi apa-apa. Segala bentuk kegiatan juga berjalan sebagaimana mestinya. Hanya saja ada beberapa kejadian dan ucapan yang lain dari biasanya. Diataranya pada hari Selasa sekitar pukul 08.00 WIB beliau memanggil dua orang putrinya Nyai Hj. Mushlihah dan Nyai Hj. Fathanah. Mereka berdua diminta untuk memotong kuku. Ny. Hj. Mushlihah bertugas memotong kuku tangan dan kaki sebelah kanan sementara Ny. Hj. Fathanah memo-tong kuku tangan dan kaki sebelah kiri.
Sebelumnya beliau juga kelihatan tidak seperti biasanya ketika ada ust. Ach. Yani. Beliau tidak mengeluarkan sepatahkatapun namun hanya sekedar melihat saja dengan tatapan kurang bergairah. Pada saat itu juga ada orang yang ingin menjual kebun. Beliau enggan karena merasa uangnya tidak cukup. Pemilik tanah saat itu tidak minta bayar penuh tapi hanya minta uang muka. Namun beliau tetap tidak mau dengan alasan takut punya hutang. Bahasa ini sebenarnya sudah menunjukkan sesuatu yang tidak lazim andaikata disadari waktu itu.
Disamping itu beliau juga memanggil putra sulungnya KH. Abdullah Ishaq. Keduanya duduk berhadap-hadapan seraya banyak yang beliau sampaikan. Diantaranya beliau berkata, “ Saya punya beberapa sapi betina, semuanya sedang bunting. Tapi ketika lahir anak sapinya adalah hasil untuk mereka yang memelihara. Andaikan punya yang jantan kan gampang menyembelihnya.” Karena tidak ada peristiwa yang terjadi, KH. Abdullah menjawab apa adanya. “ Yang lebih berkah kalau sapi betina, ba“, jawabnya. “Ya, memang,” kata beliau lagi. “Cuma kamu harus sabar, ayomi semua saudara-saudaramu,” sambungnya. Tentu pembicaraan ini bukan bertujuan memamerkan harta dunia belaka namun ada makna yang tersirat. Walaupun obrolan ini seakan-akan berjalan biasa saja tanpa ada yang perlu dikhawatirkan. Tetapi sebenarnya ada tingkah laku dan kata-kata yang mengisyaratkan sesuatu. Pertama, permintaan memotong kuku dengan cara pembagian anggota. Kedua, andai punya sapi jantan, maka gampang menyembelihnya. Ketiga, menyuruh sabar putra sulungnya dan mengayomi saudara-saudarnya yang lain. Obrolan ini berlangsung santai sampai adzan shalat Dhuhur berkumandang.
Setelah adzan selesai ada suara orang memanggil salam dari arah depan kediaman beliau. “Itu ada tamu, temui dulu saya akan mandi mau shalat dhuhur, “ kata beliau kepada KH. Abudllah. Disaat KH. Abudllah menemui tamu terdengar suara gemericik air seperti lazimnya orang mandi. Sampai disini belum ada tanda-tanda mencurigakan. Setelah mandi beliau langsung shalat dhuhur di kediamannya. Ketika beliau shalat dhuhur, khadamnya yang bernama Sucipto bermaksud mengantarkan telur yang akan diijazah sebagaimana mestinya. Terlihat saat itu KH. Ishaq sedang sujud dalam shalat. Setelah beberapa saat lamanya beliau tetap dalam posisi sujud. Melihat beliau sujud cukup lama muncul kecurigaan dan kekhawatiran dalam benak Sucipto dan melaporkannya. Setelah Ny. Hj. Mushlihah yang masih ada diluar kediaman beliau bersama Ny. Hj. Fathanah masuk melihatnya dan dirabanya bagian perut beliau, maka diyakini beliau sudah wafat dengan posisi sujud dalam shalat dan air wudluknya masih belum kering. Sebuah posisi meninggal yang sangat diidamkan banyak orang karena hal itu mengisyaratkan meninggal dengan husnul khatimah, baik dipenghujung hayat.
Sesaat kemudian putra-putri beliau berkumpul dan memegangi beliau yang sudah tidak bernafas lagi. Menantu beliau almarhum KH. Miftah Amin berkata, “ Aba ini sudah wafat, mari kita angkat.” Jasad beliau kemudian dipindah dari tempat shalat ke tempat pembaringan. Namun untuk memastikan wafatnya beliau dipanggillah salah seorang dokter dari Sukorejo (seingat keluarga dr. Roekmi Prabaningsih) untuk memeriksanya. Secara medis dia mengatakan bahwa KH. Ishaq sudah wafat. Belum puas dengan pernyataan dokter tersebut masih dipanggil lagi dokter dari Jangkar bernama dr. H. Zakariyah. Diapun secara medis menyatakan KH. Ishaq positif wafat.
Dengan pernyataan bahwa beliau positif wafat, maka KH. Abdullah berembuk dengan KH. Zaini tentang posisi kubur beliau sesuai dengan wasiatnya semasa hidup. “Kuburan saya letakkan di tanah saya sendiri. Jangan kumpulkan dengan ibumu karena itu tanah pamanmu, takut tidak rela,“ pesannya. Ini sebuah kehati-hatian beliau agar berada di tempat yang benar-benar murni karena milik sendiri walaupun harus terpisah dengan orang-orang yang dicintainya. Sehingga kubur beliau sendirian diatas tanah sendiri. Saat ini sudah ada tiga makam yaitu KH. Ishaq, KH. Miftah Amin dan makam anak kecil bernama Muhammad putra KH. Badri Ishaq. KH. Ishaq Zaini wafat pada hari Selasa tanggal 6 Juli 1999 M bertepatan dengan tanggal 22 Rabiul Awal 1420 H pukul 13.00 WIB dalam usia 74 tahun.
Suatu saat ketika beliau berkunjung ke pondok pesantren Sidogiri disambut oleh KH. Abd. Adhim seraya menempelkan lengannya kepada lengan KH. Ishaq dan mengajak berdo’a bersama-sama. KH. Abd. Adhim berbisik, “Cuma sampean yang kuat, sampean sama dengan saya,” katanya. KH. Ishaq tidak pernah tahu apa arti kata-kata tersebut sampai beliau wafat. Dalam ketidak tahuannya beliau juga pernah mengungkap hal itu kepada sebagian putra-putrinya. Hanya saja salah satu putra beliau ada yang berjodoh dengan cicit KH. Abd. Adhim.
Wafatnya seorang ulama’ lebih menyedihkan dibandingkan dengan kematian seribu orang awam. Sebab wafatnya orang alim yang kharismatik seperti KH. Ishaq sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan ketenangan umat. Bila kita tahu tentang sebuah ungkapan ”patah tumbuh hilang berganti, gugur satu tumbuh seribu” tidak berlaku untuk kematian seorang pemimpin yang sukses memajukan umat. Apabila orang awam yang meninggal tentu yang lahir lebih banyak. Tetapi bila seorang ulama yang wafat belum tentu muncul pengganti yang sama dalam rentang waktu puluhan tahun. Sebab orang pinter akan banyak bermunculan. Orang pandai sudah tak terhitung jumlahnya. Tapi yang termasuk golongan ulama’, memiliki keistiqamahan, berjuang ikhlas tanpa pamrih, berkomitmen tinggi menegakkan agama dan menyejahterakan umat kini sudah termasuk barang langka. KH. Ishaq Zaini telah menunjukkan itu semua selama hidupnya. Oleh karenanya sepeninggal beliau banyak orang yang merasa kehilangan. Kehilangan sosok kharismatik, alim, tawadlu’, istiqamah dan ikhlas. Santun dalam berbicara, sederhana dalam penampilan, bijak dalam bertindak.
Maka dari itu, kalau seseorang hatinya tidak terenyuh dengan kematian orang alim, maka hati orang itu telah mati.

Akhirnya patut direnungkan sebuah pepatah:
Gajah mati meninggalkan gading
Harimau mati meninggalkan belang
Manusia mati meninggalkan nama

Wallahu A’lam bis Shawab.

DAFTAR INFORMAN
1. KH. Abdullah Ishaq
2. KH. Zaini Ishaq
3. KH. Badri Ishaq
4. KH. Thoyyib Ishaq
5. KH. Abdul Fattah Ishaq
6. Ny. Hj. Rosyidah
7. Ny. Nurhayati
8. Ny. Hj. Mushlihah
9. Ny. Hj. Fathanah
10. Ny. Hj. Fairuzah
11. Ny. Aisyah
12. Ny. Zubaidah
13. Ny. Hj. Nurhasanah
14. L. Muslim
15. Ulif Inayah
16. Hj. Aisyah
17. Ust. Ach. Yani
18. Ust. Anwar
19. Ust. Abdus Salam
20. Ust. Muhyis Sunah
21. Ust. Moh. Satori
22. Ust. Mu’ammar
23. Ust. M. Aminullah
24. Ust. Syafiq
25. Maswi
26. Fathurrahman


Selengkapnya...

Kamis, 23 September 2010

AL MANAFI'

BULETIN MINGGUAN

MOHON IZIN BERZINA

Seseorang yang paling terkenal kesabarannya adalah Nabi Muhammad SAW. Beliau selalu lemah lembut dan tidak pernah kasar walupun kepada orang yang pernah menyakitinya.
Suatu ketika beliau berkumpul bersama para sahabat dalan satu majlis dalam rangka pengajian, tiba-tiba datang seorang pemuda mendekati beliau dan berkata, “wahai Rasulullah ijinkan saya melakukan zina.” Para sahabat sangat marah mendengar kata-kata tidak sopan dihadapan Rasulullah seraya berkata, “wahai pemuda! Ini majlis ta’lim bukan tempat perundingan maksiat, bicara apa kamu?” Melihat jama’ah marah, sebaliknya justru Rasulullah berkata dengan lemah lembut, “hai pemuda, mendekatlah kepadaku.” Kemudian terjadi dialog:
Rasulullah : apakah kamu senang jika ibumu dizinai orang?
Pemuda : Demi Allah tentu tidak senang.
Rasulullah : begitu juga orang lain, tidak senang kalau ibunya dizinai orang. Apakah kamu senang jika anak gadismu dizinai orang?
Pemuda : Demi Allah tentu tidak senang.
Rasulullah : begitu juga orang lain, tidak senang kalau anak gadisnya dizinai orang. Apakah kamu senang jika saudara perempuanmu dizinai orang?
Pemuda : Demi Allah tentu tidak senang.
Rasulullah : begitu juga orang lain, tidak senang kalau saudara perempuannnya dizinai orang. Apakah kamu senang jika bibimu dizinai orang?
Pemuda : Demi Allah tentu tidak senang.
Rasulullah : begitu juga orang lain, tidak berbeda seperti kamu, tidak senang kalau ibunya, anak gadisnya, saudara perempuannya, atau bibinya dizinai orang. Maka janganlah kamu berbuat zina, semoga Allah mengampuni dosa-dosamu, menyucikan hatimu, dan memelihara kemaluanmu, takutlah kepada Allah dimana saja kamu berada.

Mendengar jawaban Rasulullah seperti itu pemuda tersebut terketuk hatinya untuk bertaubat dan tidak punya keinginan berzina. Elma*
Ruang shalawat

Shalawat Imam Syafi’i

بسم الله الرحمن الرحيم . اللهم صل على سيدنا محمد بعدد من صلى عليه وصل على سيدنا محمد بعدد من لم يصل عليه وصل على سيدنا محمد كما أمرت بالصلاة عليه وصل على سيدنا محمد كما تحب ان يصلى عليه وصل على سيدنا محمد كما تنبغي الصلاة عليه
Tata cara:
Dibaca tiga kali setiap selesai shalat Isya’

Faidah:
Barangsiapa membaca shalawat ini Insyaallah diampuni dosa-dosanya dan diberikan kebahagiaan dunia akhirat. AD*

Belajar Nahwu: Bagian 1
Kalam adalah lafadh murakkab yang berfaidah yang dilakukan dengan sengaja.
Lafadh adalah suara/bunyi yang terdiri dari huruf-huruf hijaiyah. Murakkab berarti tersusun dari dua kata atau lebih. Berfaidah artinya dapat difaham maksudnya. Yang dimaksud sengaja adalah sengaja diucapkan.
Bagian terpenting dalam kalam ada tiga, yaitu:
1. Isim, sebuah kata yang memiliki arti sendiri tapi tidak punya waktu.
2. Fi’il, sebuah kata yang memiliki arti sendiri dan punya waktu.
a. Jika menunjukkan arti lampau disebut fi’il madli, contoh : جلس
b. Jika menunjukkan arti sekarang atau akan datang disebut fi’il mudlari’ : يجلس
c. Jika menunjukkan perintah disebut fi’il amar: اجلس
3. Huruf, sebuah kata yang menunjukkan arti bagi yang lain, tidak pada dirinya sendiri. AD*

Media Dakwah dan Ilmu Agama Tanpa Batas
MEDIA TABA
Edisi 01 Bulan April 2010

Salam Redaksi
Hello… para pembaca , Meta elmA edisi pertama telah hadir dihadapan you semua, moga kehadiran Elma membuat you nyaman en tertarik memilikinya. Elma bakal terbit tiap bulan lho… yuk gaul bersama Qta


Buletin Al Manafi’ diterbitkan oleh Ittihadul Mubtadi’in Ma’had Ainul Huda Kalirejo.
Pelindung: KH. Zaini Ishaq
Penasehat: Ach. Dhuhri, S.Ag.
Dewan Redaksi: Moh. Rosyidin, Wawan Suwandi, Beni Musthafa, Nurul Fattah, Moh. Fauzi.
Coordinator Liputan: Moh. Hasan Basri.
Redaktur: Wawan Suwandi, Beni Musthafa.
Editor: Moh. Rosyidin
Tata Letak: Nurul Fattah, Moh. Fauzi.
Keuangan: Abu Yazid, Suparman.
Distributor: Kalirejo: Aan Yulianto, Kuningan: Nurheli, Sidodadi: Harishun Barbarosa.
Alamat Redaksi: Jl. Pontren Aida No. 02 RT/RW 002/001 Kalirejo Sumberwaru Banyuputih Situbondo 68374.




Refleksi
Jihad Yes! Teroris No!
Belakangan ini ketenangan dunia terusik oleh terorisme yang dilancarkan sebagian orang dengan alasan jihad. Biang utama munculnya teroris adalah kebencian terhadap Amerika Serikat karena dunia Islam mendapat perlakuan semena-mena dengan keangkuhan kekuatannya dimata dunia. Setelah Uni Sovyet terbelah menjadi beberapa negara, maka AS menjadi satu-satunya negara Super Power di dunia. Karena merasa dirinya paling kuat mereka beranggapan tidak akan ada negara yang berani menghalangi langkahnya. Apapun diperbuat menurut kemauannya sendiri dengan alasan melindungi Hak Asasi Manusia. Setiap tarikan nafas berseru HAM tapi sebenarnya merekalah yang banyak melakukan pelanggaran HAM terutama di negara-negara Islam. Setiap negara yang menentang akan di embargo bahkan dihancurkan. Lihat saja Afganistan, Irak, Palestina hancur lebur tanpa alasan yang jelas.
Dari sinilah muncul kebencian orang muslim terhadap AS, sehingga sebagian diantara mereka mulai merancang serangan baik secara langsung kepada Amerika seperti yang terjadi di WTC dan Penthagon maupun kepada mereka yang berbau AS.
Di Indonesia telah banyak yang jadi korban terorisme baik WNA maupun WNI, muslim dan non muslim atas nama jihad. Indonesia menjadi sarang teroris karena mereka dengan mudah dapat menanamkan keyakinannya.
Jihad dalam islam mempunyai makna yang sangat luas. Jihad adalah berjuang. Perang di jalan Allah hanya bagian dari jihad. Pemerintah yang sungguh-sungguh memajukan pendidikan dan mengentas kemiskinan, orang tua yang susah payah mencari nafkah dan biaya pendidikan anak-anaknya, para santri dan siswa yang serius dalam belajar, itu semua juga merupakan bagian dari jihad. Mengapa teroris menjamur di Indonesia? Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pertama, kelihaian para perekrut anggota dalam membujuk dan cuci otak calon pengikutnya. Kedua, ketidaktahuan seseorang tentang Islam dan Jihad. Ketiga, kondisi keluarga yang labil atau broken. Dan banyak faktor lain yang dapat mempengaruhinya.
Wahai saudaraku, setiap tindakan mengan-dung resiko, baik dunia maupun akhirat. Oleh karenanya perlu pertimbangan dampak dan untung ruginya. Kekerasan dalam bentuk teror bukanlah jihad karena Islam agama Rahmatan lil Alamin yang tidak pernah mengajarkan kekerasan. Kekerasan atas nama jihad hanya akan merugikan islam dan orang islam sendiri. Janganlah kebencian terhadap suatu kelompok justru mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah, terlebih korbannya adalah saudara-saudara sendiri. Perhatikan firman Allah SWT surat Al Maidah ayat 8:
          •            •        
8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Mari kita jihad menurut profesi kita masing-masing. Jangan lagi ada nyawa yang melayang dengan meninggalkan puing-puing derita bagi keluarganya. Tidak boleh ada lagi korban fisik yang hidup dalam kepedihan tak bisa beraktifitas sepanjang hayat dan hanya menjadi beban keluarga dan orang lain. Di negara kita ada dua hal yang mendesak untuk diperangi, kemiskinan dan kebodohan. Perangilah kemiskinan dan kebodohan terutama pada kita dan keluarga kita sendiri! AD*


Ujian Nasional

Ujian Nasional atau UN 2010 yang dilaksanakan pada bulan Maret 2010 menjadi sebuah pertaruhan bagi semua siswa yang berada di tingkat akhir dalam setiap jenjang yaitu SMP, MTs, SMA, SMK, MA. Mereka sudah mempersiapkan diri mengha-dapi sesuatu yang sangat berharga sekaligus menakutkan. Dag dig dug hati berdebar menanti hasil nilai, lulus…..atau tidak!
Belajar selama tiga tahun akan ditentukan lulus atau tidaknya hanya dengan empat hari. Sungguh sangat membuat jantung terasa berdegup kencang tak teratur. Terutama bagi mereka yang tidak siap. Waktu selama tiga tahun hanya digunakan bersantai ria, sibuk berpikir sang do’i atau terjerumus pada narkoba.
Raut penyesalan dan kegelisahan mulai tampak, kecuali bagi mereka yang sudah siap atau kurang normal.
Kawan…! Syukur bagi kita yang sudah siap menghadapinya sambil berdo’a untuk mendapat nilai yang terbaik. Sabar bagi kita yang tidak siap untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk sambil berdo’a semoga ada keajaiban yang membantu kita lulus UN. Elma turut berdo’a semoga para siswa yang ikut UN 2010 ini lulus semuanya dan mendapat nilai yang memuaskan tentunya. Semoga juga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju serta menjadi rujukan dunia dari segi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Amin. Elma*


GAUL MEN….

Sebuah kata yang cukup ngetren selama ini adalah GAUL. Bagaimanakah Islam menyikapinya, bolehkah?
Perlu ada pembahasan untuk menentukan sesuatu itu boleh atau tidak. Gaul dapat dirinci tergantung maksudnya. Pertama, gaul dalam arti seseorang memiliki keahlian, kreatifitas atau keilmuan diatas kemampuan umum sehingga merasa percaya diri untuk bergaul dengan siapapun, dimanapun tanpa rasa mender karena bisa bersaing dengan orang lain. Kedua, gaul dalam bentuk pakaian dan aksesori sebagaimana banyak terjadi saat ini. Bagi perempuan memakai aksesori sudah menjadi kodratnya. Tapi bagi laki-laki memakai aksesori bisa dilihat dari beberapa segi. Seorang aktor memakai aksesori tentu masih memiliki nilai jual. Tapi bagi kita yang di desa memakai aksesori hanya menjadi tontonan dan keprihatinan masyarakat. Sering kita lihat anak-anak muda merasa gaul bila memakai kalung, anting-anting dan lainnya. Sebenarnya hal itu terjadi karena anak tersebut mengakui ada kekurangan dalam dirinya dan tidak percaya diri berada dimuka umum sehingga harus menutupi kekurangannya dengan berbagai gaya dan model walaupun seringkali justru dapat memperjelas kekurangannya. Ketiga, kata gaul yang mendapatkan awalan “pe” dan akhiran “an” menjadi “pergaulan”. Pergaulan memiliki arti sangat luas karena menyangkut kehidupan sosial. Bergaul sesama umat muslim, antar umat beragama, antar bangsa. Bergaul sesama jenis maupun lain jenis.
Dari tiga pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa gaul dalam kategori pertama adalah boleh bahkan sebuah keharusan untuk gaul tersebut. Gaul yang kedua masih perlu dipilah. Apabila pakaian gaul tersebut menyebabkan seseorang berbuat tidak terpuji atau memancing orang lain untuk berbuat tidak terpuji, tentu hal tersebut tidak dibolehkan. Rasulullah SAW. melarang laki-laki yang menyerupai perempuan atau perempuan yang menyerupai laki-laki, baik pakaian, gaya bicara, cara berjalan maupun yang lain.
Gaul yang ketiga dengan arti pergaulan pada dasarnya dibolehkan bahkan sebuah keniscayaan untuk menarik manfaat bagi individu, keluarga, masyarakat dan bangsa. Namun menjadi berbeda hukumnya manakala pergaulan disalahgunakan dengan label pergaulan bebas antar lain jenis. Rasulullah SAW bersabda:
من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فلا يخلون بامرأة ليس معها ذو محرم منها فان ثالثهما الشيطان (رواه احمد)
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia berduaan dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya karena yang ketiga adalah syetan.” (HR. Muslim)

Kita sering disodori kenyataan banyaknya muda-mudi dengan pergaulan bebas sehingga terjadi hamil diluar nikah dan berakibat dilakukannya aborsi tanpa melihat resikonya karena malu menghadapi kenyataan. Tentu yang demikian adalah selahan yang berlipat sebab melakukan kesalahan untuk menutupi kesalah yang lain. Menutupi dosa dengan dosa berikutnya. Bila terjadi demikian tentu perempuanlah yang sangat dirugikan. Oleh karenanya baik laki-laki maupun terutama perempuan perlu sadar bahwa pelaku pergaulan bebas dan narkoba tidak akan pernah menemukan kebahagiaan sejati, didunia maupun di kahirat. Pergaulan bebas semacam inilah yang dilarang karena merusak tatanan agama dan sosial masyarakat. Saudaraku muda-mudi, mari kita semua berusaha menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Falyataammal! Elma*

Selengkapnya...